Pendidikan pancasila
v Menjelaskan landasan dan tujuan pendidikan Pancasila
Mata kuliah Pendidikan Pancasila
diberikan karena adanya kesadaran akan perlunya pendidikan yang
berkesinambungan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Diharapkan,
dengan pemahaman yang semakin mendalam akan nilai-nilai Pancasila, generasi
muda dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari,
Pendidikan Pancasila juga diberikan karena fakta kemerosotan
penghayatan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, baik individual
maupun kolektif sebagai bangsa. Dengan kata lain, mata kuliah ini dihidupkan
karena adanya kesenjangan antara kata/pengetahuan dan perbuatan/tingkah laku.
Kemerosotan penghayatan nilai-nilai Pancasila dapat
disaksikan di semua bidang kehidupan, dari semua kelas sosial, dan di hampir
semua profesi. Fakta paling jelas adalah korupsi yang dilakukan di semua lini,
mulai dari pejabat pemerintah maupun institusi pemerintah dan swasta. Catatan
Kementerian Dalam Negeri RI menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2005-2013
ada 277 gubernur, walikota, dan bupati yang terlibat korupsi, dan 3.000 anggota
DPRD terjerat hukum. Dalam kurun waktu yang sama terdapat 137 anggota DPRD
provinsi dan 1.050 anggota DPRD kabupaten/kota terlibat korupsi (Suara
Pembaruan, 9 Desember 2013).
Kasus terbaru yang “mengguncang” seluruh kehidupan bangsa
adalah tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar karena
dugaan terlibat suap, merupakan fakta betapa nilai Pancasila hanya menjadi
hiasan bibir kala pejabat mengucapkan sumpah jabatan.
Selain kasus korupsi, patut disebutkan beberapa gejala yang
mencerminkan kemerosotan penghayatan nilai-nilai Pancasila, seperti kerusuhan
dan sengketa berlatarbelakang SARA, kekerasan dalam rumah tangga, kesenjangan
ekonomi, ketakmampuan golongan rendah untuk masuk jenjang sekolah dasar hingga
perguruan tinggi, berbagai macam dan tingkat kriminalitas, diskriminasi perempuan,
dan UU dan peraturan daerah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila,
sekedar menyebut beberapa contoh.
Sistem ekonomi Indonesia yang dalam Pancasila dan UUD 1945
dikenal sebagai demokrasi ekonomi berlandaskan gotong royong, pada praktiknya lebih
condong ke sistem ekonomi liberal yang makin memarginalkan kelas bawah.
Kesenjangan ekonomi tampak dengan jelas karena dalam sistem liberal seperti ini
hanya orang-orang kaya yang tambah kaya, sebaliknya orang miskin makin
terpuruk. Kekayaan tanah tumpah darah Indonesia yang sebetulnya dikelola untuk
kesejahteraan rakyat dikuasai oleh pihak asing dan konco-konconya orang-orang
kaya.
Pendidikan Pancasila diberikan karena kesadaran akan semakin
derasnya arus ideology asing, khususnya kapitalisme dan neoliberalisme, yang
berkat sayap raksasa globalisasi menggempur seluruh pelosok Indonesia tanpa
henti. Materialisme, hedonism, konsumtivisme, serta gaya hidup yang dibentuknya
telah dan sedang menerjang sudut-sudut terpencil Indonesia. Nilai-nilai asing
yang sangat digandrungi remaja dan kaum muda itu dikhawatirkan akan semakin
melunturkan nilai-nilai Pancasila. Sebab itu dirasakan pendidikan Pancasila
sebagai suatu keharusan.
Pendidikan Pancasila bertujuan untuk memberikan pemahaman
benar akan Pancasila. Tidak disadari, sering Pancasila yang diajarkan akan
Pancasila yang tidak benar, yang merupakan bentuk tersamar dari ideology yang
justru bertentangan dengan Pancasila. Oleh sebab itu Pancasila yang diajarkan
dalam Pendidikan Pancasila adalah Pancasila yang dapat dipertanggungjawabkan
secara juridis-konstitusional dan obyektif-ilmiah. Secara
yuridis-konstitusional Pancasila adalah dasar Negara yang merupakan dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara. Secara obyektif-ilmiah Pancasila adalah
paham filsafat yang dapat diuraikan dan diterima secara rasional.
UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang
diejawantahkan dalam PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
menetapkan kurikulum tingkat Satuan Perguruan Tinggi wajib memuat mata kuliah
pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia serta bahasa
Inggris. Pendidikan kewarganegaraan memuat pendidikan Pancasila sebagai
landasan pengenalan mahasiswa terhadap ideologi negara.
Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) kemudian, dalam SK
No.43/DIKTI/Kep/2006 memutuskan tentang rambu-rmbu Pelaksanan Kelompok Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, termasuk di dalamnya
Pendidikan Pancasila.
Pertanyaannya: Pancasila yang mana? Pertanyaan ini masuk
akal karena Indonesia pernah memiliki tiga UUD, yaini UUD 1945, Konstitusi RIS
1949, dan UUDS 1950 yang memuat Pancasila pada pembukaannya. Agar tidak terjadi
kesalahpahaman, dikelurkan Instruksi Presiden (Inpres) No.12 Tahun 1968. Inpres
ini menyatakan bahwa Pancasila yang resmi adalah Pancasila yang tata urutan
sila-silanya terdapat pada alinea 4 Pembukaan UUD 1945, yang berbunyi:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan
beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia
v Menggali sumber Historis, Sosiologis, Politis Pendidikan Pancasila
a. Landasan
Historis
Landasan historis adalah landasan-landasan fakta sejarah yang
dijadikan dasar bagi pengembangan pendidikan pancasila, baik menyangkut
formulasi tujuan, pengembangan materinya, rancangan modal pembelajaranya, dan
evaluasinya. Formasi pendidikan pancasila tentu saja tidak hanya memiliki
prespektif waktu kebelakang yang berisi alasan-alasan historis perlunya
perilaku tertentu bagi generasi muda. Pada dasarnya, tujuan pendidikan
pancasila memformulasikan apa yang penting dari masa lampau, masalah yang
dihadapi pada sekarang, dan cita-cita tentang kehidupan ideal dimasa lampau.
b. Landasan
Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu tentang
kehidupan antarmanusia. Didalamnya mengkaji,
antara lain latar belakang, susunan dan pola kehidupan
sosial dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat, disamping juga
mengkaji masalah-masalah sosial, perubahan dan pembaharuan dalam
masyarakat.
Melalui pendekatan sosiologis ini
pula, Anda diharapkan dapat mengkaji struktur sosial, proses sosial, termasuk
perubahan-perubahan sosial, dan masalah-masalah sosial yang patut disikapi
secara arif dengan menggunakan standar nilai-nilai yang mengacu kepada
nilai-nilai Pancasila. Berbeda dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia
mendasarkan pandangan hidupnya dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
pada suatu asas kultural yang dimiliki dan melekat pada bangsa itu sendiri.
Nilai nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila
Pancasila bukan hanya hasil konseptual seseorang saja, melainkan juga hasil
karya besar bangsa Indonesia sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai kultural
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis
para pendiri negara (Kaelan, 2000: 13).
Bung Karno menegaskan bahwa
nilai-nilai Pancasila digali dari bumi pertiwi
Indonesia. Dengan kata lain, nilai-nilai Pancasila berasal dari kehidupan
sosiologis masyarakat Indonesia. Pernyataan ini tidak diragukan lagi karena
dikemukakan oleh Bung Karno sebagai penggali Pancasila, meskipun beliau
dengan rendah hati membantah apabila disebut sebagai pencipta Pancasila,
sebagaimana dikemukakan Beliau dalam paparan sebagai berikut:
Makna penting lainnya dari
pernyataan Bung Karno tersebut adalah Pancasila
sebagai dasar negara merupakan pemberian atau ilham dari Tuhan Yang Maha
Kuasa. Apabila dikaitkan dengan teori kausalitas dari Notonegoro bahwa Pancasila
merupakan penyebab lahirnya (kemerdekaan) bangsa Indonesia, maka kemerdekaan
berasal dari Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan dengan makna Alinea
III Pembukaan UUD 1945. Sebagai makhluk Tuhan, sebaiknya segala pemberian
Tuhan, termasuk kemerdekaan Bangsa Indonesia ini wajib untuk disyukuri. Salah
satu bentuk wujud konkret mensyukuri nikmat karunia kemerdekaan adalah dengan
memberikan kontribusi pemikiran terhadap pembaharuan dalam masyarakat. Bentuk
lain mensyukuri kemerdekaan adalah dengan memberikan kontribusi konkret bagi
pembangunan negara melalui kewajiban membayar pajak, karena dengan dana pajak
itulah pembangunan dapat dilangsungkan secara optimal.
Landasan keberlakuan sosiologis
merujuk kepada penerimaan warga masyarakat sebagai sesuatu yang dibutuhkan
secara ideology, poltik, ekonomi, social budaya. Pertahanan dan keamanan (
ipoleksosbudhankam ). Dengan penyelenggaraan pendidikan pancasila sesuai dengan
kebutuhan manusia ( human needs ). Maka pendidikan pancasila akan berjalan efektif.
Sejalan dengan Landasan keberlakuan
sosiologis Pancasila diharapkan kita dapat berpartisipasi dalam
meningkatkan fungsi-fungsi lembaga pengendalian sosial (agent of social
control) yang mengacu kepada nilai-nilai Pancasila.
c. Politisi
Pendidikan Pancasila
Salah satu sumber pengayaan materi
pendidikan Pancasila adalah berasal dari
fenomena kehidupan politik bangsa Indonesia. Tujuannya agar Anda mampu
mendiagnosa dan mampu memformulasikan saran-saran tentang upaya atau
usaha mewujudkan kehidupan politik yang ideal sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila. Bukankah Pancasila dalam tataran tertentu merupakan ideologi
politik, yaitu mengandung nilai-nilai yang menjadi kaidah penuntun dalam
mewujudkan tata tertib sosial politik yang ideal. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Budiardjo (1998:32) sebagai berikut: “Ideologi politik adalah himpunan
nilai-nilai, idée, norma-norma, kepercayaan dan keyakinan, suatu
“Weltanschauung”, yang dimiliki seseorang atau sekelompok oran, atas dasar mana
dia menentukan sikapnya terhadap kejadian dan problema politik yang dihadapinya
dan yang menentukan tingkah laku politiknya.”
Melalui pendekatan politik
diharapkan mampu menafsirkan fenomena politik dalam rangka menemukan pedoman
yang bersifat moral yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan
kehidupan politik yang sehat. Pada gilirannya, Anda akan mampu memberikan
kontribusi konstruktif dalam menciptakan struktur politik yang stabil dan
dinamis.
Secara spesifik, fokus kajian
melalui pendekatan politik tersebut, yaitu
menemukan nilai-nilai ideal yang menjadi kaidah penuntun atau pedoman
dalam mengkaji konsep-konsep pokok dalam politik yang meliputi negara
(state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making),
kebijakan (policy), dan pembagian (distribution) sumber daya negara, baik di
pusat maupun di daerah. Melalui kajian tersebut, Anda diharapkan lebih
termotivasi berpartisipasi memberikan masukan konstruktif, baik kepada
infrastruktur politik maupun suprastruktur politik
v Dinamika dan Tantangan Pancasila
Indonesia, terhampar dari Sabang
hingga Marauke. Seperti yang diketahui bersama, Indonesia sebagai negara
kepulauan terbentuk dari keberagaman suku, adat-istiadat, dan bahasa. Dengan
kondisi sosial budaya Indonesia yang begitu heterogen, pandangan hidup atau
ideologi sebagai sebuah dasar negara menjadi praktis sangat dibutuhkan.
Indonesia membutuhkan sebuah ideologi netral yang bisa memayungi dan merangkul
semua budaya dari berbagai lapisan masyrakat. Akan tetapi sebelum kita membahas
makalah ini, sebenarnya apa itu ideologi?
Secara harfiah, menurut kamus umum
bahasa Indonesia ideologi adalah sebuah sistem kepercayaan yang menerangkan,
membenarkan suatu tatanan yang ada/yang dicita-citakan dan memberikan strategi
berupa prosedur, rancangan, instruksi, serta program untuk mencapainya. Di
pihak yang sama, Shawn T. &Sunshine H. (2005) membenarkan bahwa ideologi
adalah sebuah sistem pandangan umum tentang sesuatu hal.
Penulis menyimpulkan bahwa jelas
sekali ideologi adalah sebuah pandangan berupa tujuan yang ingin diacapai oleh
sebuah kelompok tertentu yang memiliki kesamaan. Sebuah ideologi sebagai
pemersatu bangsa yang ada di Indonesia tidak lain adalah Pancasila, sebuah
sistem yang dari awal di cetuskan telah menjadi sebuah dasar dari berbagai
aspek kehidupan bangsa. Pancasila yang terjabar secara konstitusional telah
menjadi asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional bangsa, yang menjadi
dasar dari cita budaya dan moral politik nasional (Dwirini, A. 2011).
Lebih dari 66 tahun yang lalu,
sejarah Pancasila pada awal-mulanya dibentuk. Diawali ketika pada tanggal 29
April 1945, kaisar Jepang sedang memperingati hari lahirnya. Penjajah jepang
berjanji akan memberikan kemerdekaan terhadap bangsa Indonesia. Janji ini
diberikan dikarenakan Jepang yang sedang terdesak oleh tentara sekutu. Untuk
mendapatkan simpati dan dukungan bangsa Indonesia, bangsa indonesia boleh
memperjuangkan kemerdekaannya. Untuk mengawalinya, jepang membentuk sebuah
badan yang bertujuan untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan
Indonesia yaitu Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Jepang memilih ketua (kaicoo) Dr. KRT. Rajiman Widyodiningrat yang
kemudian mengusulkan agenda sidang membahas tentang dasar negara. Pada tanggal
1 Juni, Ir. Soekarno pertama kali mengusulkan istilah Pancasila sebagai dasar
negara dan disahkannya Pancasila pada tanggal 18 Agustus 1945 merupakan
terobosan gemilang mengenai dasar negara oleh para founding fathers pada masa
itu.
Sejalan dengan berjalannya sebuah
negara Indonesia, ideologi Pancasila yang terbentuk mengalami ujian dan
dinamika dari sebuah sistem politik. Dimulai dengan sistem demokrasi liberal
yang dianut pada masa setelah indonesia merdeka, pembentukan indonesia serikat,
sistem liberal pada UUDS 1945, dan peristiwa G 30 S PKI.
Menurut Prof. Dr. B.J. Habibie
yang seperti dikutip dalam Metro TV news.com bahwa sejak jaman demokrasi
parlementer, terpimpin, orde baru dan demokrasi multipartai pancasila harus
melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar
filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di
satu titik terminal sejarah.Dengan sejarah perjuangan pancasila dari awal
dibentuknya seperti disebutkan di atas, pancasila membuktikan diri sebagai cara
pandang dan metode ampuh bagi seluruh bangsa Indonesia untuk membendung trend
negatif perusak asas berkehidupan bangsa. Tantangan yang dahulu dihadapi oleh
Pancasila sebagai dasar negara, jenis dan bentuknya sekarang dipastikan akan
semakin kompleks dikarenakan efek globalisasi. Globalisasi menurut Ahmad, M.
(2006) adalah perkembangan di segala jenis kehidupan dimana batasanbatasan
antar negara menjadi pudar dikarenakan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK). Berkembangnya arus informasi menjadi sebuah ciri spesifik
dari terminologi globalisasi. Setiap warga negara akan semakin mudah dan bebas
untuk mengakses berbagai jenis informasi dari berbagai belahan dunia manapun
dalam waktu yang sangat singkat.
Dengan perkembangan Informasi yang
begitu cepat, tantangan yang diterima oleh ideologi pada saat ini juga menjadi
sangat luas dan beragam. Sebagai contoh, beragamnya banyak agama di Indonesia
yang terkadang menjadi alasan pemicu konflik horizontal antar umat beragama,
ekonomi yang mulai berpindah dari sistim kekeluargaan (contoh: pasar
tradisional) menjadi sistem kapitalisme dimana keuntungan merupakan tujuan
utama, paham komunisme, liberalisme, terorisme, chauvinisme, dsb. Masih banyak
lagi hal dalam kehidupan warga negara indonesia yang dipengaruhi oleh informasi
yang begitu mudah dan cepat tersebut, tanpa bisa di sebutkan satu-persatu.
Masalah-masalah yang disebutkan diatas bertentangan dengan semua nilai yang
terkandung dalam pancasila sebagai dasar negara.
Lalu sebenarnya apa fungsi
Pancasila sebagai dasar negara? Peran pancasila yang pertama pada dasarnya
adalah Pancasila digunakan sebagai penyaring informasi yang beragam. Bahwa kita
memiliki budaya dan pedoman yang harus tetap dijaga sebagai sebuah identitas
bahwa kita adalah bangsa indonesia. Jika sebuah warga negara tertutup, pastinya
warga negara tersebut akan tertinggal jauh oleh perkembangan informasi yang
begitu cepat. Pancasila menjaga nilai-nilai normatif-filosofis-ideologis bangsa
Indonesia agar tetap sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang terjadi pada era globalisasi sekarang ini. Pancasila seharusnya juga
menjadi batasan pandangan yang seharusnya dimiliki oleh setiap warga negara.
Banyak kalangan yang lupa akan budaya dan bahasa daerah dikarenakan pengaruh globalisasi
yang sangat hebat, sehingga mengikis ide tentang jati diri bangsa sebagai
bangsa Indonesia. Batasan pandangan yang sesuai menurut Pancasila seharusnya
menjadi garis bawah bahwa kita seharusnya boleh mengikuti perkembangan zaman,
akan tetapi ada beberapa batasan-batasan nilai yang harus dijunjung, yaitu
nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Akan tetapi, fungsi-fungsi
tersebut sekarang ini sudah mulai dilupakan oleh kalangan masyarakat Indonesia.
Hal ini dikarenakan perubahan yang terjadi pada lingkungan dan situasi
kehidupan bangsa Indonesia di semua level wilayah.
Prof. Dr. B.J. Habibie menuturkan
bahwa lenyapnya Pancasila dari kehidupan terkait beberapa hal. Pertama, situasi
dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik,
regional maupun global. Perubahan tersebut telah mendorong terjadinya
pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia termasuk dalam corak perilaku
kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Kedua, alasan selanjutnya
mengapa Pancasila sudah mulai dilupakan adalah terjadinya euforia reformasi
sebagai akibat traumatik masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa
lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Trauma atas gerakan G30S/PKI yang
selanjutnya di lakukan rezim orde baru yaitu menjadikan Pancasila sebagai alat
untuk mempropaganda masyarakat, juga menjadi salah satu alasan mengapa
pancasila sudah mulai dilupakan.lalu bagaimana cara menghadapi tantangan sudah
mulai memudarnya rasa memiliki warga negara dari setiap nilai-nilai pancasila?
hal ini dapat dilakukan dengan menyadarkan kembali, reaktualisasi nilai-nilai
tersebut dalam konteks peri kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia, tetap
berpegang teguh pada nilai-nilai pancasila, dan penanaman kembali ide tentang
Pancasila sebagai dasar negara sejak dini. Bukan hanya tanggung jawab
pemerintah akan tetapi sudah merupakan tanggung jawab kita bersama, membantu
mengatasi Pancasila dalam menghadapi tantangannya di era global sekarang
ini. Walaupun banyak tantangan dalam mempertahankan Pancasila sebagai dasar
negara, Pancasila telah membuktikan bahwa Pancasila bukan merupakan milik
golongan tertentu atau representasi dari suku tertentu. Pancasila itu netral
dan akan selalu hidup di segala zaman seperti yang telah dilewati di
tahun-tahun sebelumnya.
Essensi dan urgensi pendidikan
pancasila untuk masa depan
Generasi penerus melalui Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan diharapkanakan mampu mengantisipasi hari depan
yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa,
negara, dalam hubungan internasional serta memiliki wawasan kesadaran bernegara
untuk bela negara dan memiliki pola pikir, pola sikap dan perilaku yang cinta
tanah air berdasarkan Pancasila. Semua itu diperlakukan demi tetap utuh dan
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.Tujuan utama Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara,
sikap serta perilaku yang cinta tanah air, wawasan nusantara, serta ketahanan
nasional dalam diri warga negara Republik Indonesia. Selain itu bertujuan untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berbudi luhur, berkepribadian,
mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja,
profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.
Pengembangan nilai, sikap, dan
kepribadian diperlukan pembekalan kepada peserta didik di Indonesia yang
diantaranya dilakukan melalui Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Ilmu
Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar, dan Ilmu Alamiah Dasar (sebagai aplikasi nilai
dalam kehidupan) yang disebut kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
(MKPK) dalam komponen kurikulum perguruan tinggi. Hak dan kewajiban warga
negara, terutama kesadaran bela negaraakan terwujud dalam sikap dan perilakunya
bila ia dapat merasakan bahwa konsepsi demokrasi dan hak asasi manusia sungguh–
sungguh merupakan sesuatu yang paling sesuai dengan kehidupannya sehari–hari.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang berhasil akan
membuahkan sikap mental yang cerdas, penuh rasa tanggung jawab dari peserta
didik. Sikap ini disertai dengan perilaku yang :
1. Beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta menghayati nilai–nilai falsafah bangsa
2. Berbudi pekerti luhur,
berdisiplin dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Rasional, dinamis, dan sadar
akanhak dan kewajiban sebagai warga negara.
4. Bersifat profesional yang
dijiwai oleh kesadaran bela negara.
5. Aktif memanfaatkan ilmu
pengetahuan teknologi dan seni untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa dan
negara.
Melalui Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, warga negara Republik Indonesia diharapkan mampu “memahami,
menganalisa, dan menjawab masalah–masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa
dan negaranya secara konsisten dan berkesinambungan dengan cita–cita dan tujuan
nasional seperti yang digariskan dalam Pembukaan UUD 1945 “. Dalam perjuangan
non fisik, harus tetap memegang teguh nilai–nilai ini disemua aspek kehidupan,
khususnya untuk memerangi keterbelakangan, kemiskinan, kesenjangan sosial,
korupsi, kolusi, dan nepotisme; menguasai IPTEK, meningkatkan kualitas sumber
daya manusia agar memiliki daya saing; memelihara serta menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa; dan berpikir obyektif rasional serta mandiri.
v Menjelaskan dan menganalisis Pancasila dalam konteks sejarah perjuangan
bangsa Indonesia
1.
Periode Pengusulan Pancasila
Cikal bakal munculnya ideologi
bangsa itu diawali dengan lahirnya rasa nasionalisme yang menjadi pembuka ke
pintu gerbang kemerdekaan bangsa Indonesia. Ahli sejarah, Sartono Kartodirdjo,
sebagaimana yang dikutip oleh Mochtar Pabottinggi dalam artikelnya yang
berjudul Pancasila sebagai Modal Rasionalitas Politik, menengarai bahwa benih
nasionalisme sudah mulai tertanam kuat dalam gerakan Perhimpoenan Indonesia
yang sangat menekankan solidaritas dan kesatuan bangsa. Perhimpoenan Indonesia menghimbau agar segenap suku bangsa
bersatu teguh menghadapi penjajahan dan keterjajahan. Kemudian, disusul
lahirnya Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 merupakan momen momen perumusan diri
bagi bangsa Indonesia.
2.
Periode Perumusan Pancasila
Perumusan pancasila dimulai dalam
sidang BPUPKI kedua pada 10 – 16 Juli 1945 adalah disetujuinya naskah awal
“Pembukaan Hukum Dasar” yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta.
Piagam Jakarta itu merupakan naskah awal pernyataan kemerdekaan Indonesia. Pada
alinea keempat Piagam Jakarta itulah terdapat rumusan Pancasila diantaranya
adalah Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketiga, Persatuan
Indonesia. Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan dan kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
3.
Periode Pengesahan Pancasila
Pada 12 Agustus 1945, ketika itu
Soekarno, Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat dipanggil oleh penguasa militer
Jepang di Asia Selatan ke Saigon untuk membahas tentang hari kemerdekaan
Indonesia sebagaimana yang pernah dijanjikan. Namun, di luar dugaan ternyata
pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat. Pada 15
Agustus 1945 Soekarno, Hatta, dan Rajiman kembali ke Indonesia. Kedatangan
mereka disambut oleh para pemuda yang mendesak agar kemerdekaan bangsa
Indonesia diproklamasikan secepatnya karena mereka tanggap terhadap perubahan
situasi politik dunia pada masa itu. Para pemuda sudah mengetahui bahwa Jepang
menyerah kepada sekutu sehingga Jepang tidak memiliki kekuasaan secara politis
di wilayah pendudukan, termasuk Indonesia.
v Sumber urgensi Pancasila
1.
Pancasila Sebagai Identitas Bangsa Indonesia
Setiap bangsa mana pun di dunia
ini pasti memiliki identitas yang sesuai dengan latar belakang budaya
masing-masing. Budaya merupakan proses cipta, rasa, dan karsa yang perlu
dikelola dan dikembangkan secara terus-menerus. Budaya dapat membentuk
identitas suatu bangsa melalui proses inkulturasi dan akulturasi. Pancasila
sebagai identitas bangsa Indonesia merupakan konsekuensi dari proses
inkulturasi dan akulturasi tersebut.
Adapun Pancasila sebagai identitas
nasional Indonesia diantaranya adalah Bahasa Nasional atau Bahasa Persatuan
yaitu Bahasa Indonesia, Bendera negara yaitu Sang Merah Putih, Lagu Kebangsaan
yaitu Indonesia Raya, Lambang Negara yaitu Pancasila, Semboyan Negara yaitu
Bhinneka Tunggal Ika, Dasar Falsafah negara yaitu Pancasila dan Konstitusi
(Hukum Dasar) negara yaitu UUD 1945. Sedangkan, Unsur-unsur pembentuk identitas
adalah Suku bangsa, Agama, Kebudayaan dan Bahasa.
2.
Pancasila Sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia
Perwujudan dari nilai-nilai budaya
bangsa Indonesia sendiri yang diyakini kebaikan dan kebenarannya, Sebelum
ditetapkannya Pancasila sebagai dasar yang sah, Indonesia memang sudah sejak
dahulu menganut nilai-nilai budaya luhur yang telah tercipta di tengah-tengah
masyarakat nenek moyang Indonesia.
Pancasila digali
dari budaya bangsa Indonesia sendiri yang sudah ada, tumbuh, dan berkembang
berabad-abad lamanya. Pancasila merangkum nilai-nilai yang sama yang terkandung
dalam adat-istiadat, kebudayaan, dan agama-agama yang ada di Indonesia.
3.
Pancasila
Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Sebagai pandangan hidup bangsa,
Pancasila berfungsi sebagai pedoman atau petunjuk dalam kehidupan sehari-hari.
Ini berarti, Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan petunjuk arah semua
kegiatan atau aktivitas hidup dan kehidupan di segala bidang. Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa merupakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
Indonesia. Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila selalu dijunjung tinggi
oleh setiap warga masyarakat, karena pandangan hidup Pancasila berakar pada
budaya dan pandangan hidup masyarakat Indonesia.
4.
Pancasila Sebagai Jiwa Bangsa
Pancasila sebagai jiwa bangsa
lahir bersamaan dengan lahirnya bangsa Indonesia. Pancasila tela ada sejak
dahulu kala bersamaan dengan adanya bangsa Indonesia (Bakry, 14: 157).
Pancasila sebaagai jiwa bangsa maksudnya pancasila sebagai nyawa, pandangan
hidup, ideologi bangsa, bahkan ciri khusus bangsa Indonesia yang mana Pancasila
didapat seiring dengan perjalanan bangsa Indonesia, sehingga dapat membedakan
mana ciri khas bangsa Indonesia dengan ciri khas negara lain. Pancasila sebagai jiwa bangsa berarti setiap
kegiatan, perbuatan, tindakan, serta pemikiran semua individu di Indonesia
berdasarkan dan berpedoman kepada Pancasila.
5.
Pancasila Sebagai Perjanjian Luhur
Perjanjian luhur maksudnya adalah
nilai-nilai Pancasila sebagai jiwa bangsa dan kepribadian bangsa disepakati
oleh pendiri negara (political consensus) sebagai dasar negara Indonesia
(Bakry, 1994: 161). Pancasila merupakan keputusan akhir bangsa Indonesia.
Perjanjian luhur itu telah dilakukan
pada 18 Agustus 1945, pada saat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
telah menerima Pancasila dan menetapkan
dasar negara secara konstituonal dalam pembukaan UUD 1945. Pancasila disepakati
oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai milik bangsa yang harus diamalkan serta
dilestarikan.
v Sumber historis,yuridis,sosiologis dan politis
1.
Sumber Historis Pancasila
Pancasila melalui proses yang pandang
dalam pembuatannya. Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila
sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara obyektif
historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sendiri. Sehingga asal
nilai-nilai Pancasila tersebut tidak lain adalah dari bangsa Indonesia sendiri,
atau bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila.
Secara historis, sejak zaman
kerajaan unsur Pancasila sudah muncul dalam kehidupan bangsa kita. Agar
nilai-nilai Pancasila selalu melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia, maka .
nilai-nilai yang terkandung dalam setiap Pancasila tersebut kemudian dirumuskan
dan disahkan menjadi dasar Negara. Sebagai sebuah dasar Negara, Pancasila harus
selalu dijadikan acuan dalam bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.Semua peraturan perundang-undangan yang ada juga tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
2.
Sumber Sosiologis Pancasila
Nilai-nilai kenegaraan dan
kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila bukan hanya hasil
konseptual seseorang saja, melainkan juga hasil karya besar bangsa Indonesia
sendiri, yang diangkat dari nilai-nilai kultural yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia sendiri melalui proses refleksi filosofis para pendiri negara
(Kaelan, 2000: 13). Bung Karno
menegaskan bahwa nilai-nilai Pancasila digali dari bumi pertiwi Indonesia.
Dengan kata lain, nilai-nilai Pancasila berasal dari kehidupan sosiologis
masyarakat Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi negara berakar dalam kehidupan
masyarakat. Unsur-unsur sosiologis yang membentuk Pancasila sebagai ideologi
negara meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa dapat ditemukan dalam kehidupan beragama masyarakat
Indonesia dalam berbagai bentuk kepercayaan dan keyakinan terhadap adanya
kekuatan gaib.
b. Sila
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
dapat ditemukan dalam hal saling
menghargai dan menghormati hak-hak orang lain, tidak bersikap sewenang-wenang.
c. Sila
Persatuan Indonesia yang dapat ditemukan dalam bentuk solidaritas, rasa setia
kawan, rasa cinta tanah air yang berwujud pada mencintai produk dalam negeri.
d. Sila
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dapat ditemukan dalam bentuk menghargai pendapat
orang lain, semangat musyawarah dalam mengambil keputusan.
e. Sila
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia tercermin dalam sikap suka menolong, menjalankan gaya
hidup sederhana, tidak menyolok atau berlebihan.
3.
Sumber Politis Pancasila
Pancasila dalam tataran tertentu
merupakan ideologi politik, yaitu mengandung nilai-nilai yang menjadi kaidah
penuntun dalam mewujudkan tata tertib sosial politik yang ideal. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Budiardjo (1998:32) sebagai berikut: “Ideologi politik
adalah himpunan nilai-nilai, idée, norma-norma, kepercayaan dan keyakinan,
suatu “Weltanschauung”, yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang, atas
dasar mana dia menentukan sikapnya terhadap kejadian dan problema politik yang
dihadapinya dan yang menentukan tingkah laku politiknya.”
Dengan memahami pancasila,
diharapkan mampu termotivasi berpartisipasi memberikan masukan konstruktif,
baik kepada infrastruktur politik maupun suprastruktur politik. Nilai-nilai
Pancasila mutlak harus dimiliki oleh setiap penguasa yang berkuasa mengatur
pemerintahan, agar tidak menyebabkan berbagai penyimpangan seperti yang sering
terjadi dewasa ini.
Dalam penerapan etika politik Pancasila di Indonesia
tentunya mempunyai beberapa kendala-kendala, yaitu :
a. Etika politik
terjebak menjadi sebuah ideologi sendiri. Ketika seseorang mengkritik sebuah
ideologi, ia pasti akan mencari kelemahan-kelemahan dan kekurangannya, baik
secara konseptual maupun praksis. Hingga muncul sebuah keyakinan bahwa etika
politik menjadi satu-satunya cara yang efektif dan efisien dalam mengkritik
ideologi, sehingga etika politik menjadi sebuah ideologi tersendiri.
b. Pancasila
merupakan sebuah sistem filsafat yang lebih lengkap disbanding etika politik
Pancasila, sehingga kritik apa pun yang ditujukan kepada Pancasila oleh etika
politik Pancasila tidak mungkin berangkat dari Pancasila sendiri karena kritik
itu tidak akan membuahkan apa-apa.
Namun demikian, bukan berarti
etika politik Pancasila tidak mampu menjadi alat atau cara menelaah sebuah
Pancasila. Kendala pertama dapat diatasi dengan cara membuka lebar-lebar pintu
etika politik Pancasila terhadap kritik dan koreksi dari manapun, sehingga ia
tidak terjebak pada lingkaran itu. Kendala kedua dapat diatasi dengan
menunjukkan kritik kepada tingkatan praksis Pancasila terlebih dahulu, kemudian
secara bertahap merunut kepada pemahaman yang lebih umum hingga ontologi
Pancasila menggunakan prinsip-prinsip norma moral.
4.
Argumen tentang Dinamika Pancasila
dalam Sejarah Bangsa
Bisa dikatakan bahwa generasi
wajib bela negara jatuh pada zaman orde baru Tekad pemerintahan yang dibawah
kendali Presiden Suharto adalah melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 secara murni dan konsekuen . Pada era Orde Baru, salah satu upaya konkrit
Pemerintah dalam rangka penanaman nilai-nilai Pancasila, adalah melalui
penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Tujuannya antara
lain adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga
dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan
terbentuk dan terpelihara.
Orde Lama, dimana konsep
Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM) menempatkan ideologi komunis menjadi
dominan, sehingga nilai-nilai Pancasila justru menjadi kabur. Sisi baiknya
adalah dengan adanya penanaman nilai-nilai pancasila maka telah menciptakan
keteraturan dan keseragaman. Semua organisasi politik, organisasi
kemasyarakatan, organisasi keagamaan dan organisasi kemahasiswaan berasaskan
pancasila.
Tetapi pada sisi yang lain,
keteraturan, ketenangan dan kedamaian oleh sebagian kalangan dianggap sebagai
gejala yang nampak dipermukaan saja, sebagai bentuk ketakutan atas politik
represif rezim Orde Baru. Pancasila dipahami secara tektual saja, tetapi tidak
dipahami secara kontekstual. Redaksi Pancasila beserta butir-butirnya dihafal
tetapi tidak dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka dari
itu sangat penting menyamakan persepsi hidup bernegara. Masuk pada masa
reformasi, Pancasila dijadikan sebagai hegemoni politik oleh penguasa. Yang
membuat warga wajib mematuhi setiap kebijakan yang dikeluarkan penguasa, dan
dianggap bertentangan dengan Pancasila bila warga menolaknya.
v Menelusuri Konsep Negara, Tujuan Negara dan Urgensi Dasar Negara
1.
Menelusuri Konsep Negara
Menurut Diponolo (1975: 23-25) negara adalah suatu
organisasi kekuasaan yang berdaulat yang dengan tata pemerintahan melaksanakan
tata tertib atas suatu umat di suatu daerah tertentu.
Sejalan dengan pengertian negara tersebut, Diponolo
menyimpulkan 3 (tiga) unsur yang menjadi syarat mutlak bagi adanya negara
yaitu:
a. Unsur tempat,
atau daerah, wilayah atau territoir
b. Unsur
manusia, atau umat (baca: masyarakat), rakyat atau bangsa
c. Unsur
organisasi, atau tata kerjasama, atau tata pemerintahan.
Ketiga unsur tersebut lazim dinyatakan sebagai unsur
konstitutif. Selain unsur konstitutif ada juga unsur lain, yaitu unsur
deklaratif, dalam hal ini pengakuan dari negara lain.Berbicara tentang negara
dari perspektif tata negara paling tidak dapat dilihat dari 2 (dua) pendekatan,
yaitu:
a. Negara dalam
keadaan diam, yang fokus pengkajiannya terutama kepada bentuk dan struktur
organisasi negara
b. Negara dalam
keadaan bergerak, yang fokus pengkajiannya terutama kepada mekanisme
penyelenggaraan lembaga-lembaga negara, baik di pusat maupun di daerah. Pendekatan
ini juga meliputi bentuk pemerintahan seperti apa yang dianggap paling tepat
untuk sebuah negara.
2. Menelusuri Konsep Tujuan Negara
Tujuan yang ingin dicapai oleh
setiap orang mungkin sama, yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan, tetapi cara
yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut berbeda-beda bahkan terkadang
saling bertentangan. Jalan yang ditempuh untuk mewujudkan tujuan tersebut kalau
disederhanakandapat digolongkan ke dalam 2 aliran, yaitu:
a. Aliran
liberal individualis. Aliran ini berpendapat bahwa kesejahteraan dan
kebahagiaan harus dicapai dengan politik dan sistem ekonomi liberal melalui
persaingan bebas.
b. Aliran
kolektivis atau sosialis. Aliran ini berpandangan bahwa kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia hanya dapat diwujudkan melalui politik dan sistem
ekonomiterpimpin/totaliter.
Pada umumnya, tujuan suatu negara termaktub dalam
Undang-Undang Dasar atau konstitusi negara tersebut. Sebagai perbandingan,
berikut ini adalah tujuan negara Amerika Serikat, Indonesia dan India.
Tujuan negara Republik Indonesia apabila disederhanakan
dapat dibagi 2 (dua), yaitu mewujudkan kesejahteraan umum dan menjamin keamanan
seluruh bangsa dan seluruh wilayah negara. Oleh karena itu, pendekatan dalam
mewujudkan tujuan negara tersebut dapat dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan
yaitu:
a. Pendekatan
kesejahteraan (prosperity approach)
b. Pendekatan
keamanan (security approach)
3. Menelusuri
Konsep dan Urgensi Dasar Negara
Secara etimologis, istilah dasar
negara maknanya identik dengan istilah grundnorm (norma dasar), rechtsidee
(cita hukum), staatsidee (cita negara), philosophische grondslag (dasar
filsafat negara). Banyaknya istilah Dasar Negara dalam kosa kata bahasa asing
menunjukkan bahwa dasar negara bersifat universal, dalam arti setiap negara
memiliki dasar negara.
Secara terminologis atau secara
istilah, dasar negara dapat diartikan sebagai landasan dan sumber dalam
membentuk dan menyelenggarakan negara. Dasar negara juga dapat diartikan
sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Secara teoretik, istilah dasar
negara, mengacu kepada pendapat Hans Kelsen, disebut a basic norm atau
Grundnorm (Kelsen, 1970: 8). Norma dasar ini merupakan norma tertinggi yang
mendasari kesatuan-kesatuan sistem norma dalam masyarakat yang teratur termasuk
di dalamnya negara yang sifatnya tidak berubah (Attamimi dalam Oesman dan
Alfian, 1993: 74). Dengan demikian, kedudukan dasar negara berbeda dengan
kedudukan peraturan perundang-undangan karena dasar negara merupakan sumber
dari peraturan perundang-undangan. Implikasi dari kedudukan dasar negara ini,
maka dasar negara bersifat permanen sementara peraturan perundang-undangan
bersifat fleksibel dalam arti dapat diubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Hans Nawiasky menjelaskan bahwa
dalam suatu negara yang merupakan kesatuan tatanan hukum, terdapat suatu kaidah
tertinggi, yang kedudukannya lebih tinggi daripada Undang-Undang Dasar. Kaidah
tertinggi dalam tatanan kesatuan hukum dalam negara disebut
staatsfundamentalnorm, yang untuk Indonesia berupa Pancasila (Riyanto dalam
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, 2013: 93-94).
Dalam pandangan yang lain, pengembangan teori dasar negara dapat diambil dari
pidato Mr. Soepomo. Dalam penjelasannya, kata “cita negara” merupakan
terjemahan dari kata “Staatsidee” yang terdapat dalam kepustakaan Jerman dan
Belanda. Kata asing itu menjadi terkenal setelah beliau menyampaikan pidatonya
dalam rapat pleno Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
pada 31 Mei 1945. Sebagai catatan, Soepomo menerjemahkan “Staatsidee” dengan
“dasar pengertian negara” atau “aliran pikiran negara”. Memang, dalam bahasa
asing sendiri kata itu tidak mudah memperoleh uraian pengertiannya. J.
Oppenheim (1849-1924), ahli hukum tata negara dan hukum administrasi negara di
Groningen Belanda, mengemukakan dalam pidato pengukuhannya yang kedua (1893)
sebagai guru besar mengemukakan bahwa “staatsidee” dapat dilukiskan sebagai
“hakikat yang paling dalam dari negara” (de staats diapse wezen), sebagai
“kekuatan yang membentuk negara-negara (de staten vermonde kracht) (Attamimi
dalam Soeprapto, Bahar dan Arianto, 1995: 121).
Dalam karyanya yang berjudul Nomoi
(The Law), Plato (Yusuf, 2009) berpendapat bahwa “suatu negara sebaiknya
berdasarkan atas hukum dalam segala hal”. Senada dengan Plato, Aristoteles
memberikan pandangannya, bahwa “suatu negara yang baik adalah negara yang
diperintahkan oleh konstitusi dan kedaulatan hukum”. Sebagai suatu ketentuan
peraturan yang mengikat, norma hukum memiliki sifat yang berjenjang atau bertingkat.
Artinya, norma hukum akan berdasarkan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan
bersumber lagi pada norma hukum yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai pada norma dasar/norma yang tertinggi dalam suatu negara yang disebut
dengan grundnorm.
Dengan demikian, dasar negara
merupakan suatu norma dasar dalam penyelenggaraan bernegara yang menjadi sumber
dari segala sumber hukum sekaligus sebagai cita hukum (rechtsidee), baik
tertulis maupun tidak tertulis dalam suatu negara. Cita hukum ini akan
mengarahkan hukum pada cita-cita bersama dari masyarakatnya. Cita-cita ini
mencerminkan kesamaankesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat
(Yusuf, 2009). Terdapat ilustrasi yang dapat mendeskripsikan tata urutan
perundanganundangan di Indonesia.
Prinsip bahwa norma hukum itu
bertingkat dan berjenjang, termanifestasikan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang tercermin pada pasal
7 yang menyebutkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, yaitu
sebagai berikut:
a. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan
Pemerintah;
e. Peraturan
Presiden;
f. Peraturan
Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
v Menggali Sumber Yuridis, Historis, Sosiologis, dan
Politis tentang Pancasila sebagai Dasar Negara
Dalam rangka menggali pemahaman Pancasila sebagai dasar
negara, Anda akan dihadapkan pada berbagai sumber keterangan. Sumber-sumber
tersebut meliputi sumber historis, sosiologis, dan politis. Berikut merupakan
rincian dari sumber-sumber tersebut.
1. Sumber Yuridis
Pancasila sebagai Dasar Negara
Secara yuridis ketatanegaraan,
Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia sebagaimana terdapat pada
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang
kelahirannya ditempa dalam proses kebangsaan Indonesia. Melalui Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai payung hukum, Pancasila
perlu diaktualisasikan agar dalam praktik berdemokrasinya tidak kehilangan arah
dan dapat meredam konflik yang tidak produktif (Pimpinan MPR dan Tim Kerja
Sosialisasi MPR periode 2009--2014, 2013: 89).
Peneguhan Pancasila sebagai dasar
negara sebagaimana terdapat pada pembukaan, juga dimuat dalam Ketetapan MPR
Nomor XVIII/MPR/1998, tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978
tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
dan ketetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Meskipun status
ketetapan MPR tersebut saat ini sudah masuk dalam kategoriketetapan MPR yang
tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat
einmalig (final), telah dicabut maupun telah selesai dilaksanakan (Pimpinan MPR
dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009- 2014, 2013: 90).
Selain itu, juga ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan bahwa
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Penempatan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara, yaitu sesuai dengan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, bahwa
Pancasila ditempatkan sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar
filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila (Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009-2014,
2013: 90-91).
2. Sumber Historis
Pancasila sebagai Dasar Negara
Dalam sidang yang diselenggarakan
untuk mempersiapkan Indonesia merdeka, Radjiman meminta kepada anggotanya untuk
menentukan dasar negara. Sebelumnya, Muhammad Yamin dan Soepomo mengungkapkan
pandangannya mengenai dasar negara. Kemudian dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno
menyebut dasar negara dengan menggunakan bahasa Belanda, Philosophische
grondslag bagi Indonesia merdeka. Philosophische grondslag itulah fundamen,
filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya
untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka. Soekarno juga menyebut
dasar negara dengan istilah ‘Weltanschauung’ atau pandangan dunia (Bahar,
Kusuma, dan Hudawaty, 1995: 63, 69, 81; dan Kusuma, 2004: 117, 121, 128, 129).
Dapat diumpamakan, Pancasila merupakan dasar atau landasan tempat gedung
Republik Indonesia itu didirikan (Soepardo dkk, 1962: 47).
Pancasila sebagai dasar negara
sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag dari negara, ideologi negara,
staatsidee. Dalam hal tersebut, Pancasila digunakan sebagai dasar mengatur
pemerintah negara. Atau dengan kata lain, Pancasila digunakan sebagai dasar
untuk mengatur penyelenggaraan negara (Darmodiharjo, 1991: 19).
Dengan demikian, jelas kedudukan
Pancasila itu sebagai dasar negara, Pancasila sebagai dasar negara dibentuk
setelah menyerap berbagai pandangan yang berkembang secara demokratis dari para
anggota BPUPKI dan PPKI sebagai representasi bangsa Indonesia (Pimpinan MPR dan
Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009--2014, 2013: 94). Pancasila dijadikan
sebagai dasar negara, yaitu sewaktu ditetapkannya Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 pada 8 Agustus 1945. Pada
mulanya, pembukaan direncanakan pada tanggal 22 Juni 1945, yang terkenal dengan
Jakarta-charter (Piagam Jakarta), tetapi Pancasila telah lebih dahulu diusulkan
sebagai dasar filsafat negara Indonesia merdeka yang akan didirikan, yaitu pada
1 Juni 1945, dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (Notonagoro, 1994: 24). Terkait dengan hal tersebut, Mahfud MD
(2009:14) menyatakan bahwa berdasarkan penjelajahan historis diketahui bahwa
Pancasila yang berlaku sekarang merupakan hasil karya bersama dari berbagai
aliran politik yang ada di BPUPKI, yang kemudian disempurnakan dan disahkan
oleh PPKI pada saat negara didirikan. Lebih lanjut, Mahfud MD menyatakan bahwa
ia bukan hasil karya Moh. Yamin ataupun Soekarno saja, melainkan hasil karya
bersama sehingga tampil dalam bentuk, isi, dan filosofinya yang utuh seperti
sekarang.
3. Sumber
Sosiologis Pancasila sebagai Dasar Negara
Secara ringkas, Latif (Pimpinan MPR
dan Tim Kerja Sosialisasi MPR periode 2009--2014, 2013) menguraikan pokok-pokok
moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila sebagai
berikut.
Pertama, nilai-nilai ketuhanan
(religiusitas) sebagai sumber etika dan spiritualitas (yang bersifat vertical
transcendental) dianggap penting sebagai fundamental etika kehidupan bernegara.
Negara menurut Pancasila diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan
kehidupan beragama; sementara agama diharapkan dapat memainkan peran publik
yang berkaitan dengan penguatan etika sosial. Sebagai negara yang dihuni oleh
penduduk dengan multiagama dan multikeyakinan, negara Indonesia diharapkan
dapat mengambil jarak yang sama, melindungi terhadap semua agama dan keyakinan
serta dapat mengembangkan politiknya yang dipandu oleh nilai-nilai agama.
Kedua, nilai-nilai kemanusiaan
universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial
(bersifat horizontal) dianggap penting sebagai fundamental etika-politik
kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Prinsip kebangsaan yang luas
mengarah pada persaudaraan dunia yang dikembangkan melalui jalan eksternalisasi
dan internalisasi.
Ketiga, nilai-nilai etis
kemanusiaan harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang
lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Indonesia
memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang kuat, bukan saja dapat mempertemukan
kemajemukan masyarakat dalam kebaruan komunitas politik bersama, melainkan juga
mampu memberi kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk tidak tercerabut dari
akar tradisi dan kesejarahan masing-masing. Dalam khazanah Indonesia, hal
tersebut menyerupai perspektif “etnosimbolis” yang memadukan antara perspektif
“modernis” yang menekankan unsur-unsur kebaruan dalam kebangsaan dengan
perspektif “primordialis” dan “perenialis” yang melihat unsur lama dalam
kebangsaan.
Keempat, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan,
dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung
tinggi kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam prinsip
musyawarahmufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas atau
kekuatan minoritas elit politik dan pengusaha, tetapi dipimpin oleh
hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan
kearifan setiap warga tanpa pandang bulu.
Kelima, nilai ketuhanan, nilai
kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan serta demokrasi permusyawaratan itu
memperoleh artinya sejauh dalam mewujudkan keadilan sosial. Dalam visi keadilan
sosial menurut Pancasila, yang dikehendaki adalah keseimbangan antara peran
manusia sebagai makhluk individu dan peran manusia sebagai makhluk sosial, juga
antara pemenuhan hak sipil, politik dengan hak ekonomi, sosial dan budaya.
Pandangan tersebut berlandaskan pada pemikiran Bierens de Haan (Soeprapto,
Bahar dan Arianto, 1995: 124) yang menyatakan bahwa keadilan sosial
setidak-tidaknya memberikan pengaruh pada usaha menemukan cita negara bagi
bangsa Indonesia yang akan membentuk negara dengan struktur sosial asli
Indonesia. Namun, struktur sosial modern mengikuti perkembangan dan tuntunan
zaman sehingga dapatlah dimengerti apabila para penyusun Undang-Undang Dasar
1945 berpendapat bahwa cita negara Indonesia (de Indonesische Staatsidee)
haruslah berasal dan diambil dari cita paguyuban masyarakat Indonesia sendiri.
4. Sumber Politis
Pancasila sebagai Dasar Negara
Mungkin Anda pernah mengkaji
ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) dan di dalam Pasal 36A jo. Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945, terkandung makna bahwa Pancasila menjelma menjadi asas dalam sistem
demokrasi konstitusional. Konsekuensinya, Pancasila menjadi landasan etik dalam
kehidupan politik bangsa Indonesia. Selain itu, bagi warga negara yang
berkiprah dalam suprastruktur politik (sektor pemerintah), yaitu
lembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga pemerintahan, baik di pusat maupun
di daerah, Pancasilamerupakan norma hukum dalam memformulasikan dan mengimplementasikan
kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Di sisi lain, bagi
setiap warga negara yang berkiprah dalam infrastruktur politik (sektor
masyarakat), seperti organisasi kemasyarakatan, partai politik, dan media
massa, maka Pancasila menjadi kaidah penuntun dalam setiap aktivitas sosial
politiknya. Dengan demikian, sektor masyarakat akan berfungsi memberikan
masukan yang baik kepada sektor pemerintah dalam sistem politik. Pada
gilirannya, sektor pemerintah akan menghasilkan output politik berupa kebijakan
yang memihak kepentingan rakyat dan diimplementasikan secara bertanggung jawab
di bawah kontrol infrastruktur politik. Dengan demikian, diharapkan akan
terwujud clean government dan good governance demi terwujudnya masyarakat yang
adil dalam kemakmuran dan masyarakat yang makmur dalam keadilan (meminjam
istilah mantan Wapres Umar Wirahadikusumah).
PANCASILA
MENJADI IDEOLOGI NEGARA
A. Mengkaji konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Ideologi Negara
1. Konsep Pancasila
sebagai Ideologi Negara
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, ideologi didefinisikan sebagai kumpulan konsep bersistem yang
dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan
hidup. Ideologi juga diartikan sebagai cara berpikir seseorang atau suatu
golongan. Ideologi dapat diartikan paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu
program sosial politik
Fungsi ideologi sebagai berikut:
a. Struktur kognitif;
keseluruhan pengetahuan yang dapat menjadi landasan untuk memahami dan
menafsirkan dunia, serta kejadiankejadian di lingkungan sekitarnya.
b. Orientasi dasar dengan
membuka wawasan yang memberikan makna serta menunjukkan tujuan dalam kehidupan
manusia.
c. Norma-norma yang
menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk melangkah dan bertindak.
d. Bekal dan jalan bagi
seseorang untuk menemukan identitasnya
e. Kekuatan yang mampu
menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai
tujuan.
f. Pendidikan bagi
seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati serta memolakan tingkah
lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang terkandung di dalamnya
(Soerjanto, 1991: 48).
2. Urgensi Pancasila sebagai Ideologi Negara
Setelah Anda menelusuri
berbagai pengertian, unsur, dan jenis-jenis ideologi, maka terlihat bahwa
Pancasila sebagai ideologi negara menghadapi berbagai bentuk tantangan. Salah
satu tantangan yang paling dominan dewasa ini adalah globalisasi.
Beberapa karakteristik
kebudayaan global sebagai berikut:
a. Berbagai bangsa dan
kebudayaan menjadi lebih terbuka terhadap pengaruh timbal balik.
b. Pengakuan akan
identitas dan keanekaragaman masyarakat dalam berbagai kelompok dengan
pluralisme etnis dan religius.
c. Masyarakat yang
memiliki ideologi dan sistem nilai yang berbeda bekerjasama dan bersaing
sehingga tidak ada satu pun ideologi yang dominan.
d. Kebudayaan global
merupakan sesuatu yang khas secara utuh, tetapi tetap bersifat plural dan
heterogen.
e. Nilai-nilai hak asasi
manusia (HAM), kebebasan, demokrasi menjadi nilainilai yang dihayati bersama,
tetapi dengan interpretasi yang berbeda-beda
B. Sumber
Historis, Sosiologis, Yuridis, Politis Pancasila sebagai ideologi negara
1. Sumber historis
Pancasila sebagai Ideologi Negara
Pada bagian ini,
ditelusuri kedudukan Pancasila sebagai ideologi oleh para penyelenggara negara
yang berkuasa sepanjang sejarah negara Indonesia
2. Sumber Sosiologis
Pancasila sebagai Ideologi Negara
Pada bagian ini, akan
dilihat Pancasila sebagai ideologi negara berakar dalam kehidupan masyarakat.
Unsur-unsur sosiologis yang membentuk Pancasila sebagai ideologi negara
meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa dapat ditemukan dalam kehidupan beragama masyarakat Indonesia dalam
berbagai bentuk kepercayaan dan keyakinan terhadap adanya kekuatan gaib.
b. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
dapat ditemukan dalam hal saling menghargai dan menghormati hak-hak orang lain,
tidak bersikap sewenang-wenang.
c. Sila Persatuan
Indonesia dapat ditemukan dalam bentuk solidaritas, rasa setia kawan, rasa
cinta tanah air yang berwujud pada mencintai produk dalam negeri.
d. Sila Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dapat
ditemukan dalam bentuk menghargai pendapat orang lain, semangat musyawarah
dalam mengambil keputusan.
e. Sila Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia tercermin dalam sikap suka menolong, menjalankan
gaya hidup sederhana, tidak menyolok atau berlebihan.
3. Sumber Politis Pancasila
sebagai Ideologi Negara
Pada bagian ini, mahasiswa
diajak untuk melihat Pancasila sebagai ideologi negara dalam kehidupan politik
di Indonesia. Unsur-unsur politis yang membentuk Pancasila sebagai ideologi
negara meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa diwujudkan
dalam bentuk semangat toleransi antarumat beragama.
b. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
diwujudkan penghargaan terhadap pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) di
Indonesia.
c. Sila Persatuan
Indonesia diwujudkan dalam mendahulukan kepentingan bangsa dan negara daripada
kepentingan kelompok atau golongan, termasuk partai.
d. Sila Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan diwujudkan
dalam mendahulukan pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah daripada
voting. e. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia diwujudkan dalam
bentuk tidak menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) untuk memperkaya diri
atau kelompok karena penyalahgunaan kekuasaan itulah yang menjadi faktor pemicu
terjadinya korupsi.
Menjelaskan Pancasila
sebagai sistem filsafat
A.
Menelusuri Konsep dan Urgensi Pancasila sebagai Sistem
Filsafat
1. Konsep Pancasila sebagai Sistem Filsafat
a. Apa yang dimaksudkan dengan sistem filsafat
Beberapa pengertian
filsafat berdasarkan watak dan fungsinya sebagaimana yang dikemukakan Titus,
Smith & Nolan sebagai berikut:
1) Filsafat
adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara tidak kritis. (arti informal)
2) Filsafat
adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat dijunjung tinggi. (arti formal)
3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan
gambaran keseluruhan. (arti komprehensif)
4) Filsafat adalah analisa
logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. (arti analisis
linguistik)
5) Filsafat
adalah sekumpulan problematik yang langsung mendapat perhatian manusia dan
dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat. (arti aktual-fundamental)
·
Pancasila
merupakan suatu sistem mendasar dan fundamental karena mendasari seluruh
kebijakan penyelenggaraan negara. Ketika suatu sistem bersifat mendasar dan
fundamental, maka sistem tersebut dapat dinamakan sebagai sistem filsafat.
·
Mengapa Pancasila
dikatakan sebagai sistem filsafat? Ada beberapa alasan yang dapat ditunjukkan
untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama; dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945,
Soekarno memberi judul pidatonya dengan nama Philosofische Grondslag daripada
Indonesia Merdeka.
·
Noor Bakry
menjelaskan bahwa Pancasila sebagai sistem filsafat merupakan hasil perenungan
yang mendalam dari para tokoh kenegaraan Indonesia.
·
Sastrapratedja
menegaskan bahwa fungsi utama Pancasila menjadi dasar negara dan dapat disebut
dasar filsafat adalah dasar filsafat hidup kenegaraan atau ideologi negara.
Pancasila adalah dasar politik yang mengatur dan mengarahkan segala kegiatan
yang berkaitan dengan hidup kenegaraan. Oleh karena itu, Pancasila harus
menjadi operasional dalam penentuan kebijakan-kebijakan dalam bidang-bidang
tersebut di atas dan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa
dan negara.
·
Istilah
Philosphische Grondslag dan Weltanschauung merupakan dua istilah yang sarat
dengan nilai-nilai filosofis. Filsafat berada dalam lingkup ilmu, sedangkan
weltanshauung berada di dalam lingkungan hidup manusia, bahkan banyak pula
bagian dari filsafat (seperti: sejarah filsafat, teori-teori tentang alam) yang
tidak langsung terkait dengan sikap hidup.
·
Pancasila sebagai
dasar filsafat negara (Philosophische Grondslag) nilai-nilai filosofis yang
terkandung dalam sila-sila Pancasila mendasari seluruh peraturan hukum yang
berlaku di Indonesia.
·
Kedua, Pancasila
sebagai Weltanschauung, artinya nilai-nilai Pancasila itu merupakan sesuatu
yang telah ada dan berkembang di dalam masyarakat Indonesia, yang kemudian
disepakati sebagai dasar filsafat negara (Philosophische Grondslag).
Weltanschauung merupakan sebuah pandangan dunia (world-view).
b. Urgensi Pancasila sebagai Sistem
Filsafat
Urgensi Pancasila sebagai sistem filsafat atau yang
dinamakan filsafat Pancasila, artinya refleksi filosofis mengenai Pancasila
sebagai dasar negara. Sastrapratedja menjelaskan makna filsafat Pancasila
sebagai berikut:
1) Pertama, agar dapat diberikan
pertanggungjawaban rasional dan mendasar mengenai sila-sila dalam Pancasila
sebagai prinsip-prinsip politik.
2) Kedua, agar dapat dijabarkan lebih
lanjut sehingga menjadi operasional dalam bidang-bidang yang menyangkut hidup
bernegara.
3) Ketiga, agar dapat membuka dialog
dengan berbagai perspektif baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
4) Keempat, agar dapat menjadi kerangka
evaluasi terhadap segala kegiatan yang bersangkut paut dengan kehidupan
bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, serta memberikan perspektif pemecahan
terhadap permasalahan nasional.
B.
Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Pancasila sebagai
Sistem Filsafat
1.
Esensi (hakikat)
Pancasila sebagai Sistem Filsafat
Hakikat (esensi) Pancasila
sebagai sistem filsafat terletak pada hal-hal sebagai berikut:
a. Pertama; hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan
bangsa Indonesia bahwa Tuhan sebagai prinsip utama dalam kehidupan semua
makhluk.
b. Kedua; hakikat sila kemanusiaan adalah manusia
monopluralis, yang terdiri atas 3 monodualis, yaitu susunan kodrat (jiwa,
raga), sifat kodrat (makhluk individu, sosial), kedudukan kodrat (makhluk
pribadi yang otonom dan makhluk Tuhan).
c. Ketiga, hakikat sila persatuan terkait dengan semangat
kebangsaan. Rasa kebangsaan terwujud dalam bentuk cinta tanah air, yang
dibedakan ke dalam 3 jenis, yaitu tanah air real, tanah air formal, dan tanah
air mental. Tanah air real adalah bumi tempat orang dilahirkan dan dibesarkan,
bersuka, dan berduka, yang dialami secara fisik sehari-hari. Tanah air formal
adalah negara bangsa yang berundang-undang dasar. Tanah air mental bukan
bersifat territorial karena tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, melainkan
imajinasi yang dibentuk dan dibina oleh ideologi atau seperangkat gagasan
vital.
d. Keempat, hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip
musyawarah.
e. Kelima, hakikat sila keadilan terwujud dalam tiga aspek,
yaitu keadilan distributif, legal, dan komutatif. Keadilan distributif adalah
keadilan bersifat membagi dari negara kepada warga negara. Keadilan legal
adalah kewajiban warga negara terhadap negara atau dinamakan keadilan bertaat.
Keadilan komutatif adalah keadilan antara sesama warga negara.
2.
Urgensi Pancasila
sebagai Sistem Filsafat
Hal-hal penting yang
sangat urgen bagi pengembangan Pancasila sebagai sistem filsafat meliputi
hal-hal sebagai berikut:
a. Pertama,
meletakkan Pancasila sebagai sistem filsafat dapat memulihkan harga diri bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dalam politik, yuridis, dan juga merdeka
dalam mengemukakan ide-ide pemikirannya untuk kemajuan bangsa, baik secara materiil
maupun spiritual.
b. Kedua, Pancasila
sebagai sistem filsafat membangun alam pemikiran yang berakar dari nilai-nilai
budaya bangsa Indonesia sendiri sehingga mampu dalam menghadapi berbagai
ideologi dunia.
c. Ketiga, Pancasila
sebagai sistem filsafat dapat menjadi dasar pijakan untuk menghadapi tantangan
globalisasi yang dapat melunturkan semangat kebangsaan dan melemahkan
sendi-sendi perekonomian yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak.
d. Keempat, Pancasila
sebagai sistem filsafat dapat menjadi way of life sekaligus way of thinking
bangsa Indonesia untuk menjaga keseimbangan dan konsistensi antara tindakan dan
pemikiran
C. Alasan Diperlukannya Kajian Pancasila sebagai
Sistem Filsafat
1. Filsafat Pancasila sebagai Genetivus
Objectivus dan Genetivus Subjectivus
Pancasila sebagai
genetivus-objektivus, artinya nilai-nilai Pancasila dijadikan sebagai objek
yang dicari landasan filosofisnya berdasarkan sistem-sistem dan cabang-cabang
filsafat yang berkembang di Barat. Pancasila sebagai genetivus-subjectivus,
artinya nilai-nilai Pancasila dipergunakan untuk mengkritisi berbagai aliran
filsafat yang berkembang, baik untuk menemukan hal-hal yang sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila maupun untuk melihat nilai-nilai yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila.
2. Landasan Ontologis Filsafat Pancasila
Landasan ontologis
Pancasila artinya sebuah pemikiran filosofis atas hakikat dan raison d’etre
sila-sila Pancasila sebagai dasar filosofis negara Indonesia. Oleh karena itu,
pemahaman atas hakikat sila-sila Pancasila itu diperlukan sebagai bentuk
pengakuan atas modus eksistensi bangsa Indonesia.
3. Landasan Epistemologis Filsafat
Pancasila
Landasan epistemologis
Pancasila artinya nilai-nilai Pancasila digali dari pengalaman (empiris) bangsa
Indonesia, kemudian disintesiskan menjadi sebuah pandangan yang komprehensif
tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
4. Landasan Aksiologis Pancasila
Landasan aksiologis
Pancasila artinya nilai atau kualitas yang terkandung dalam sila-sila
Pancasila.
D.
Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang
Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1. Sumber Historis Pancasila sebagai Sistem
Filsafat
Pada 12 Agustus 1928,
Soekarno pernah menulis di Suluh Indonesia yang menyebutkan bahwa nasionalisme
adalah nasionalisme yang membuat manusia menjadi perkakasnya Tuhan dan membuat
manusia hidup dalam roh. Pembahasan sila-sila Pancasila sebagai sistem filsafat
dapat ditelusuri dalam sejarah masyarakat Indonesia.
2. Sumber Sosiologis Pancasila sebagai
Sistem Filsafat
Sumber sosiologis
Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok,
yaitu:
a. Kelompok pertama memahami sumber
sosiologis Pancasila sebagai sistem filsafat dalam pandangan hidup atau
kearifan lokal yang memperlihatkan unsur-unsur filosofis Pancasila itu masih
berbentuk pedoman hidup yang bersifat praktis dalam berbagai aspek kehidupan.
b. Kelompok kedua, yaitu masyarakat
ilmiah-akademis yang memahami Pancasila sebagai sistem filsafat dengan
teori-teori yang bersifat akademis.
3. Sumber Politis Pancasila sebagai Sistem
Filsafat
Pada awalnya, Pancasila
merupakan konsensus politik yang kemudian berkembang menjadi sistem filsafat.
Sumber politis Pancasila sebagai sistem filsafat dapat diklasifikasikan ke
dalam dua kelompok, yaitu:
a. Kelompok pertama, meliputi wacana
politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat pada sidang BPUPKI, sidang
PPKI, dan kuliah umum Soekarno antara tahun 1958 dan 1959, tentang pembahasan
sila-sila Pancasila secara filosofis.
b. Kelompok kedua, mencakup berbagai
argumen politis tentang Pancasila sebagai sistem filsafat yang disuarakan
kembali di era reformasi dalam pidato politik Habibie 1 Juni 2011.
Sumber politis Pancasila
sebagai sistem filsafat berlaku juga atas kesepakatan penggunaan simbol dalam
kehidupan bernegara.
E.
Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan
Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1. Dinamika Pancasila sebagai Sistem
Filsafat
a. Pada era pemerintahan Soekarno,
Pancasila sebagai sistem filsafat dikenal dengan istilah “Philosofische
Grondslag”. Gagasan tersebut merupakan perenungan filosofis Soekarno atas
rencananya berdirinya negara Indonesia merdeka. Ide tersebut dimaksudkan
sebagai dasar kerohanian bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara. Namun, ide
tentang Philosofische Grondslag belum diuraikan secara rinci, lebih merupakan
adagium politik untuk menarik perhatian anggota sidang, dan bersifat teoritis.
Pada masa itu, Soekarno lebih menekankan bahwa Pancasila merupakan filsafat
asli Indonesia yang diangkat dari akulturasi budaya bangsa Indonesia.
b. Pada era Soeharto, kedudukan Pancasila
sebagai sistem filsafat berkembang ke arah yang lebih praktis (dalam hal ini
istilah yang lebih tepat adalah weltanschauung). Artinya, filsafat Pancasila
tidak hanya bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tetapi juga
digunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari.
c. Pada era reformasi, Pancasila sebagai
sistem filsafat kurang terdengar resonansinya. Namun, Pancasila sebagai sistem
filsafat bergema dalam wacana akademik, termasuk kritik dan renungan yang
dilontarkan oleh Habibie dalam pidato 1 Juni 2011.
2. Tantangan Pancasila sebagai Sistem
Filsafat
Beberapa bentuk tantangan
terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat muncul dalam bentuk-bentuk sebagai
berikut:
a. Kapitalisme, yaitu aliran yang meyakini
bahwa kebebasan individual pemilik modal untuk mengembangkan usahanya dalam
rangka meraih keuntungan sebesar-besarnya merupakan upaya untuk menyejahterakan
masyarakat.
b. Komunisme adalah sebuah paham yang
muncul sebagai reaksi atas perkembangan kapitalisme sebagai produk masyarakat
liberal.
MEMAHAMI DAN MENGKAJI
PANCASILA MENJADI SEBAGAI SISTEM ETIKA
A. Menelusuri Konsep dan Urgensi
Pancasila sebagai Sistem Etika
1. Konsep Pancasila sebagai Sistem
Etika
a. Pengertian Etika
Istilah “etika” berasal
dari bahasa Yunani, “Ethos” yang artinya tempat tinggal yang biasa, padang
rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir.
Secara etimologis, etika berarti ilmu tentang segala sesuatu yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam arti ini, etika berkaitan
dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri
seseorang maupun masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan
diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam artian ini, etika
sama maknanya dengan moral. Etika dalam arti yang luas ialah ilmu yang membahas
tentang kriteria baik dan buruk (Bertens, 1997: 4--6). Etika pada umumnya
dimengerti sebagai pemikiran filosofis mengenai segala sesuatu yang dianggap
baik atau buruk dalam perilaku manusia. Keseluruhan perilaku manusia dengan
norma dan prinsip-prinsip yang mengaturnya itu kerap kali disebut moralitas
atau etika (Sastrapratedja, 2002: 81).
b. Aliran-aliran Etika
Ada beberapa aliran etika
yang dikenal dalam bidang filsafat, meliputi etika keutamaan, teleologis,
deontologis. Etika keutamaan atau etika kebajikan adalah teori yang mempelajari
keutamaan (virtue), artinya mempelajari tentang perbuatan manusia itu baik atau
buruk. Etika teleologis adalah teori yang menyatakan bahwa hasil dari tindakan
moral menentukan nilai tindakan atau kebenaran tindakan dan dilawankan dengan
kewajiban. Etika deontologis adalah teori etis yang bersangkutan dengan
kewajiban moral sebagai hal yang benar dan bukannya membicarakan tujuan atau
akibat.
c. Etika Pancasila
Etika Pancasila adalah
cabang filsafat yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila untuk mengatur
perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Oleh
karena itu, dalam etika Pancasila terkandung nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut
membentuk perilaku manusia Indonesia dalam semua aspek kehidupannya.
Sila ketuhanan mengandung
dimensi moral berupa nilai spiritualitas yang mendekatkan diri manusia kepada
Sang Pencipta, ketaatan kepada nilai agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan
mengandung dimensi humanus, artinya menjadikan manusia lebih manusiawi, yaitu
upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan dalam pergaulan antar sesama. Sila
persatuan mengandung dimensi nilai solidaritas, rasa kebersamaan (mitsein),
cinta tanah air. Sila kerakyatan mengandung dimensi nilai berupa sikap
menghargai orang lain, mau mendengar pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak
kepada orang lain. Sila keadilan mengandung dimensi nilai mau peduli atas nasib
orang lain, kesediaan membantu kesulitan orang lain.
Etika Pancasila itu lebih
dekat pada pengertian etika keutamaan atau etika kebajikan, meskipun corak
kedua mainstream yang lain, deontologis dan teleologis termuat pula di
dalamnya. Namun, etika keutamaan lebih dominan karena etika Pancasila tercermin
dalam empat tabiat saleh, yaitu kebijaksanaan, kesederhanaan, keteguhan, dan
keadilan. Kebijaksanaan artinya melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh
kehendak yang tertuju pada kebaikan serta atas dasar kesatuan akal – rasa –
kehendak yang berupa kepercayaan yang tertuju pada kenyataan mutlak (Tuhan)
dengan memelihara nilai-nilai hidup kemanusiaan dan nilai-nilai hidup religius.
Kesederhaaan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam hal
kenikmatan. Keteguhan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas
dalam menghindari penderitaan. Keadilan artinya memberikan sebagai rasa wajib
kepada diri sendiri dan manusia lain, serta terhadap Tuhan terkait dengan
segala sesuatu yang telah menjadi haknya (Mudhofir, 2009: 386).
2. Urgensi Pancasila sebagai Sistem
Etika
Pentingnya Pancasila sebagai sistem etika terkait dengan
problem yang dihadapi bangsa Indonesia sebagai berikut:
1. Banyaknya kasus korupsi yang melanda negara Indonesia
sehingga dapat melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Masih terjadinya aksi terorisme yang mengatasnamakan
agama sehingga dapat merusak semangat toleransi dalam kehidupan antar umat
beragama, dan meluluhlantakkan semangat persatuan atau mengancam disintegrasi
bangsa.
3. Masih terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
dalam kehidupan bernegara.
4. Kesenjangan antara kelompok masyarakat kaya dan miskin
masih menandai kehidupan masyarakat Indonesia.
5. Ketidakadilan hukum yang masih mewarnai proses
peradilan di Indonesia, seperti putusan bebas bersyarat atas pengedar narkoba
asal Australia Schapell Corby.
6. Banyaknya orang kaya yang tidak bersedia membayar
pajak dengan benar.
Etika Pancasila diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara sebab berisikan tuntunan nilai-nilai moral yang hidup.
Namun, diperlukan kajian kritis-rasional terhadap nilai-nilai moral yang hidup
tersebut agar tidak terjebak ke dalam pandangan yang bersifat mitos.
B. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis,
tentang Pancasila sebagai Sistem Etika
1. Sumber
historis
Pada zaman
Orde Lama, Pancasila sebagai sistem etika masih berbentuk sebagai Philosofische
Grondslag atau Weltanschauung. Artinya, nilai-nilai Pancasila belum ditegaskan
ke dalam sistem etika, tetapi nilai-nilai moral telah terdapat pandangan hidup
masyarakat. Masyarakat dalam masa orde lama telah mengenal nilai-nilai
kemandirian bangsa yang oleh Presiden Soekarno disebut dengan istilah berdikari
(berdiri di atas kaki sendiri). Pada zaman Orde Baru, Pancasila sebagai sistem
etika disosialisasikan melalui penataran P-4 dan diinstitusionalkan dalam wadah
BP-7. Ada banyak butir Pancasila yang dijabarkan dari kelima sila Pancasila
sebagai hasil temuan dari para peneliti BP-7. Untuk memudahkan pemahaman
tentang butir-butir sila Pancasila dapat dilihat pada tabel berikut (Soeprapto,
1993: 53--55).
Pada era
reformasi, Pancasila sebagai sistem etika tenggelam dalam hirukpikuk perebutan
kekuasaan yang menjurus kepada pelanggaraan etika politik. Salah satu bentuk
pelanggaran etika politik adalah abuse of power, baik oleh penyelenggara negara
di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Penyalahgunaan kekuasaan atau
kewenangan inilah yang menciptakan korupsi di berbagai kalangan penyelenggara
negara.
2. Sumber
Sosiologis
Sumber
sosiologis Pancasila sebagai sistem etika dapat ditemukan dalam kehidupan
masyarakat berbagai etnik di Indonesia. Misalnya, orang Minangkabau dalam hal
bermusyawarah memakai prinsip “bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh
mufakat”. Masih banyak lagi mutiara kearifan lokal yang bertebaran di bumi
Indonesia ini sehingga memerlukan penelitian yang mendalam.
3. Sumber
Politis
Sumber politis Pancasila sebagai sistem etika terdapat dalam
norma-norma dasar (Grundnorm) sebagai sumber penyusunan berbagai peraturan
perundangan-undangan di Indonesia. Pancasila sebagai sistem etika merupakan
norma tertinggi (Grundnorm) yang sifatnya abstrak, sedangkan perundang-undangan
merupakan norma yang ada di bawahnya bersifat konkrit.
Etika politik mengatur masalah perilaku politikus,
berhubungan juga dengan praktik institusi sosial, hukum, komunitas,
struktur-struktur sosial, politik, ekonomi. Etika politik memiliki 3 dimensi,
yaitu tujuan, sarana, dan aksi politik itu sendiri. Dimensi tujuan terumuskan
dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai yang didasarkan
pada kebebasan dan keadilan. Dimensi sarana memungkinkan pencapaian tujuan yang
meliputi sistem dan prinsip-prinsip dasar pengorganisasian praktik
penyelenggaraan negara dan yang mendasari institusi-institusi sosial. Dimensi
aksi politik berkaitan dengan pelaku pemegang peran sebagai pihak yang
menentukan rasionalitas politik. Rasionalitas politik terdiri atas rasionalitas
tindakan dan keutamaan. Tindakan politik dinamakan rasional bila pelaku
mempunyai orientasi situasi dan paham permasalahan (Haryatmoko, 2003: 25 – 28).
D. Dinamika dan Tantangan Pancasila
sebagi Sistem Etika
1. Argumen
tentang Dinamika Pancasila sebagai Sistem Etika
Beberapa
argumen tentang dinamika Pancasila sebagai sistem etika dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Pada zaman
Orde Lama, pemilu diselenggarakan dengan semangat demokrasi yang diikuti banyak
partai politik, tetapi dimenangkan empat partai politik. Tidak dapat dikatakan
bahwa pemerintahan di zaman Orde Lama mengikuti sistem etika Pancasila, bahkan
ada tudingan dari pihak Orde Baru bahwa pemilihan umum pada zaman Orde Lama
dianggap terlalu liberal karena pemerintahan Soekarno menganut sistem demokrasi
terpimpin, yang cenderung otoriter.
2. Pada
zaman Orde Baru sistem etika Pancasila diletakkan dalam bentuk penataran P-4.
Pada zaman Orde Baru itu pula muncul konsep manusia Indonesia seutuhnya sebagai
cerminan manusia yang berperilaku dan berakhlak mulia sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila.
3. Sistem
etika Pancasila pada era reformasi tenggelam dalam eforia demokrasi. Namun
seiring dengan perjalanan waktu, disadari bahwa demokrasi tanpa dilandasi
sistem etika politik akan menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan, serta
machiavelisme (menghalalkan segala cara untuk mencapi tujuan).
2. Argumen
tentang Tantangan Pancasila sebagai Sistem Etika
Hal-hal
berikut ini dapat menggambarkan beberapa bentuk tantangan terhadap sistem etika
Pancasila.
1. Tantangan
terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Lama berupa sikap otoriter
dalam pemerintahan sebagaimana yang tercermin dalam penyelenggaraan negara yang
menerapkan sistem demokrasi terpimpin. Hal tersebut tidak sesuai dengan sistem
etika Pancasila yang lebih menonjolkan semangat musyawarah untuk mufakat.
2. Tantangan
terhadap sistem etika Pancasila pada zaman Orde Baru terkait dengan masalah NKK
(Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi) yang merugikan penyelenggaraan negara. Hal
tersebut tidak sesuai dengan keadilan sosial karena nepotisme, kolusi, dan
korupsi hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompok tertentu.
3. Tantangan
terhadap sistem etika Pancasila pada era Reformasi berupa eforia kebebasan
berpolitik sehingga mengabaikan norma-norma moral. Misalnya, munculnya
anarkisme yang memaksakan kehendak dengan mengatasnamakan kebebasan
berdemokrasi.
Memahami dan mengkaji Pancasila
menjadi dasar pengembangan ilmu
A. Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi
Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu untuk Masa Depan
1. Esensi
Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu Hakikat
Pancasila sebagai dasar
nilai pengembangan iptek dikemukakan Prof. Wahyudi Sediawan dalam Simposium dan
sarasehan. Pancasila sebagai Paradigma
Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Bangsa, sebagai berikut:
Sila Pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa
memberikan kesadaran bahwa manusia hidup di dunia ibarat sedang menempuh ujian
dan hasil ujian akan menentukan kehidupannya yang abadi di akhirat nanti. Salah
satu ujiannya adalah manusia diperintahkan melakukan perbuatan untuk kebaikan, bukan
untuk membuat kerusakan di bumi.
Sila Kedua
Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab memberikan arahan, baik bersifat universal maupun khas terhadap ilmuwan
dan ahli teknik di Indonesia. Asas kemanusiaan atau humanisme menghendaki agar
perlakuan terhadap manusia harus sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, yaitu
memiliki keinginan, seperti kecukupan materi, bersosialisasi, eksistensinya
dihargai, mengeluarkan pendapat, berperan nyata dalam lingkungannya, bekerja
sesuai kemampuannya yang tertinggi (Wahyudi, 2006: 65).
Sila Ketiga
Persatuan Indonesia
memberikan landasan esensial bagi kelangsungan
Negara Kesatauan Republik Indonesia (NKRI). Untuk itu, ilmuwan dan ahli
teknik Indonesia perlu menjunjung tinggi asas Persatuan Indonesia ini dalam tugas-tugas
profesionalnya. Kerja sama yang sinergis
antarindividu dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing akan
menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi daripada penjumlahan produktivitas
individunya (Wahyudi, 2006: 66). Suatu pekerjaan atau tugas yang dikerjakan
bersama dengan semangat nasionalisme yang tinggi dapat menghasilkan
produktivitas yang lebih optimal.
Sila Keempat
Kerakyatan yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan memberikan arahan
asa kerakyatan, yang mengandung arti bahwa pembentukan negara republik
Indonesia ini adalah oleh dan untuk semua rakyat Indonesia. Setiap warga negara
mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara. Demikian pula halnya
dengan ilmuwan dan ahli teknik wajib memberikan kontribusi sebasar-besarnya
sesuai kemampuan untuk kemajuan negara.
Sila Kelima
Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia memberikan araha agar selalu diusahakan tidak
terjadinya jurang (gap) kesejahteraan di antara bangsa Indonesia. Ilmuwan dan
ahli teknik yang mengelola industri perlu selalu mengembangkan sistem yang
memajukan perusahaan, sekaligus menjamin kesejahteraan karyawan (Wahyudi, 2006:
69).
Selama ini, pengelolaan
industri lebih berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi, dalam arti keuntungan perusahaan sehingga cenderung
mengabaikan kesejahteraan karyawan dan kelestarian lingkungan. Situasi timpang
ini disebabkan oleh pola kerja yang hanya mementingkan kemajuan perusahaan. Pada akhirnya, pola tersebut
dapat menjadi pemicu aksi protes yang justru merugikan pihak perusahaan itu
sendiri.
2.Urgensi Pancasila
sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
Pentingnya Pancasila
sebagai dasar nilai pengembangan ilmu, meliputi hal-hal sebagai berikut:
Perkembangan ilmu dan
teknologi di Indonesia dewasa ini tidak berakar pada nilai-nilai budaya bangsa
Indonesia sendiri sehingga ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Indonesia
sepenuhnya berorientasi pada Barat (western oriented ).
Perkembangan ilmu
pengetahuan di Indonesia lebih berorientasi pada kebutuhan pasar sehingga prodi-prodi yang “laku keras”
di perguruan tinggi Indonesia adalah
prodi-prodi yang terserap oleh pasar (dunia industri).
Pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di Indonesia belum melibatkan masyarakat luas
sehingga hanya menyejahterakan kelompok elite yang mengembangkan ilmu
(scientist oriented )
Sumber historis
Sumber historis Pancasila
sebagai dasar nilai pengembangan ilmu di Indonesia dapat ditelusuri pada
awalnya dalam dokumen negara, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 berbunyi: ”Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, … dan seterusnya”. Kata “mencerdaskan kehidupan
bangsa” mengacu pada pengembangan iptek melalui pendidikan. Amanat dalam
Pembukaan UUD 1945 yang terkait dengan mencerdaskan kehidupan bangsa itu
haruslah berdasar pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, dan seterusnya,
yakni Pancasila. Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu belum banyak
dibicarakan pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi,
mengingat para pendiri negara yang juga termasuk cerdik cendekia atau
intelektual bangsa Indonesia pada masa
itu mencurahkan tenaga dan pemikirannya untuk membangun bangsa dan negara.
Para intelektual merangkap
sebagai pejuang bangsa masih disibukkan pada upaya pembenahan dan penataan
negara yang baru saja terbebas dari penjajahan. Penjajahan tidak hanya menguras
sumber daya alam negara Indonesia, tetapi juga menjadikan bagian terbesar dari
rakyat Indonesia berada dalam kemiskinan dan kebodohan. Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi ”..memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan melindungi segenap tanah tumpah darah Indonesia”.
Soekarno dalam rangkaian kuliah umum Pancasila Dasar Falsafah Negara pada 26 Juni 1958 sampai
dengan 1 Februari 1959 sebagaimana disitir Sofian Effendi, Rektor UGM dalam
Simposium dan Sarasehan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan
Bangsa. 15 Agustus 2006, selalu menyinggung perlunya setiap sila Pancasila
dijadikan blueprint bagi setiap pemikiran dan tindakan bangsa Indonesia karena
kalau tidak akan terjadi kemunduran dalam pencapaian keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia (Effendi, 2006: xiii). Pancasila dalam pernyataan
Soekarno kurang lebih mengandung pengertian yang sama dengan Pancasila sebagai
dasar nilai pengembangan iptek karena sila-sila Pancasila harus masuk ke dalam
seluruh rencana pemikiran dan tindakan bangsa Indonesia. Daoed Joesoef dalam
artikel ilmiahnya yang berjudul Pancasila, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan
menyatakan bahwa Pancasila adalah gagasan vital yang berasal dari kebudayaan
Indonesia, artinya nilai-nilai yang benar-benar diramu dari sistem nilai bangsa
Indonesia sendiri.
2.
Sumber Sosiologis Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu di Indonesia
Sumber sosiologis
Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan iptek dapat ditemukan pada sikap
masyarakat yang sangat memperhatikan dimensi ketuhanan dan kemanusiaan sehingga
manakala iptek tidak sejalan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan, biasanya
terjadi penolakan. Contohnya, penolakan masyarakat atas rencana pembangunan
pusat pembangkit listrik tenaga nuklir di semenanjung Muria beberapa tahun yang
lalu. Penolakan masyarakat terhadap PLTN di semenanjung Muria didasarkan pada
kekhawatiran atas kemungkinan kebocoran Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Chernobyl Rusia beberapa tahun yang
lalu. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat peka terhadap isu-isu ketuhanan dan
kemanusiaan yang ada di balik
pembangunan pusat tenaga nuklir tersebut. Isu ketuhanan dikaitkan dengan
dikesampingkannya martabat manusia sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa dalam pembangunan iptek. Artinya, pembangunan
fasilitas teknologi acapkali tidak melibatkan peran serta masyarakat sekitar,
padahal apabila terjadi dampak negatif
berupa kerusakan fasilitas teknologi, maka masyarakat yang akan terkena
langsung akibatnya. Masyarakat terlebih peka terhadap isu kemanusiaan di balik
pembangunan dan pengembangan iptek karena dampak negatif pengembangan iptek,
seperti limbah industri yang merusak lingkungan, secara langsung mengusik
kenyamanan hidup masyarakat.
1.
Sumber Politis
Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu di Indonesia
Sumber politis Pancasila
sebagai dasar nilai pengembangan ilmu di Indonesia dapat dirunut ke dalam
berbagai kebijakan yang dilakukan oleh para penyelenggara negara. Dokumen pada
masa Orde Lama yang meletakkan Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan atau orientasi ilmu, antara lain
dapat dilihat dari pidato Soekarno ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa
di UGM pada 19 September 1951, mengungkapkan hal sebagai berikut:
“Bagi saya, ilmu
pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada
praktik hidup manusia, atau praktiknya bangsa, atau praktiknya hidup dunia kemanusiaan. Memang
sejak muda, saya ingin mengabdi kepada praktik hidup manusia, bangsa, dan dunia
kemanusiaan itu. Itulah sebabnya saya
selalu mencoba menghubungkan ilmu dengan amal, menghubungkan pengetahuan dengan
perbuatan sehingga pengetahuan ialah untuk perbuatan, dan perbuatan dipimpin
oleh pengetahuan. Ilmu dan amal harus wahyu-mewahyui satu sama lain. Buatlah
ilmu berdwitunggal dengan amal. Malahan, angkatlah derajat kemahasiswaanmu itu
kepada derajat mahasiswa patriot yang sekarang mencari ilmu, untuk kemudian
beramal terus menerus di wajah ibu pertiwi” (Ketut, 2011).
Dengan demikian, Pancasila
sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pada zaman Orde Lama belum secara
eksplisit dikemukakan, tetapi oleh Soekarno dikaitkan langsung dengan dimensi
kemanusiaan dan hubungan antara ilmu dan amal.
PERAN PANCASILA SEBAGAI SOLUSI PROBLEM BANGSA
Berikut adalah
masalah-masalah yang terjadi di Indonesia dan
peran Pancasila sebagai solusi
dari setiap masalah yakni sebagai berikut
1.Kemiskinan
Kemiskinan merupakan
masalah utama yang melanda Indonesia. Hampir di setiap sudut ditemukan
pemukiman kumuh. Ada sekitar 30 juta rakyat Indonesia yang hidup sangat miskin.
Penyebab utama kemiskinan adalah ledakan penduduk yang tidak disertai dengan
peningkatan kualitas penduduk tersebut ditambah lagi dengan kebutuhan hidup
yang makin kompleks dan mahal. Masalah ini dapat diatasi dengan menerapkan
kesemua sila Pancasila terutama sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa
sesuai dengan ajaran agama islam apabila kita mendekatkan diri kepada Allah,
menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dan Insya Allah akan
memberikan kemudahan dalam memperoleh rezeki yang halal dan dalam jumlah yang
banyak. Namun perlu kita sadari bahwa rezeki yang dikasi kepada kita bukan
hanya seputar uang melainkan kehidupan kekeluargaan yang harmonis, kesehatan,
kebahagiaan, mendapatkan teman atau tetangga yang baik dan lain-lainnya
2.Korupsi
Korupsi sangat merugikan
negara. Mereka adalah pencuri berdasi yang mengambil bukan haknya melainkan hak
rakyat dan pencurian uang itu tidak berjumlah sedikit miliaran bahkan
triliunan. Negara kita pada dasarnya memiliki kekayaan atau dana yang cukup
untuk mensejahterkan rakyatnya namun dikarenakan negara ini dikerumi oleh para
koruptor sehingga uang negara terbuang sia-sia dan mengakibatkan kesengsaraan
bagi rakayt. Kurangnya efek jera menjadi penyebab utama korupsi ini. Negara
lain sudah menerapkan hukuman berat bagi pelaku korupsi. Seperti di Arab Saudi
yang dihukum potong tangan. Bahkan Tiongkok menerapkan hukuman mati.
Hukuman-hukuman diatas tidak dapat diberlakukan di Indonesia dikarenakan adanya
HAM. Mereka para koruptor yang terbukti bersalah dihukum potong tangan ataupu
hukuman mati dianggap melangar HAM. Pertanyaannya apakah mereka yang mencuri
uang rakyat dalam jumlah yang besar bukan suatu pelanggaran HAM ? Permasalahan
ini dapat diatasi oleh sila pertama. Dalam hukum agama Islam orang yang mencuri
atau mengambil hak orang lain akan mendapatkan hukuman potong tangan agar tidak
ada yang mengikuti jejak orang tersebut ini adalah hukuman yang dapat
memberikan efek jera. Para koruptor tentu ada yang beragama Islam dalam KTP-nya
nah hal ini dapat diberlakukan hukuman potong tangan. Namun hal ini perlu
pembuktian yang konkrit dan dalam proses yang benar agar tidak terjadi
kesalahan dalam menerapkan hukum.
3.Penegakan Hukum yang
Lemah
Negara Indonesia adalah
negara hukum, tapi kenapa hanya rakyat kecil yang dihukum? Penyebabnya karena
hukum di Indonesia masih bisa dipermainkan. Orang kaya masih bisa terbebas dari
jeratan hukum. Jangan dulu melihat kasus-kasus hukum yang besar, kita masih
bisa melihat di sekitar kita. Terutama saat ditilang polisi. Apa yang biasanya
dilakukan? Tentu saja menyuap polisi tersebut. Kalau terus saja dibiarkan
begini, hancurlah Indonesia. Hal ini dapat diatasi dengan mengamalkan Pancasila
terutama sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hukum yang tertulis
maupun tidak tertulis telah dibuat dengan banyak pertimbangan dengan hasil
berupa peraturan yang tegas namun dalam pelaksanaanya yang dilaksanakan oleh
manusia sebagai pelaku tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Oleh karena
itu sebelum menjalankan aturan negara sebaiknya berbenah diri dahulu. Agar
tindakan kita sesuai dengan peraturan yang telah dibuat.
4.Kualitas Pendidikan yang
Rendah
Sistem pendidikan di
Indonesia bisa dikatakan sangat buruk. Biaya sekolah yang semakin mahal tidak
sebanding dengan hasil yang didapatkan. Memang siswa selalu lulus dengan nilai
sangat baik, tetapi angka tersebut hanya diatas kertas. Buktinya kualitas
penduduk Indonesia masih sangat rendah dibandingkan di negara lain. Tak heran
kita selalu mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri sementara kita selalu
mengirim tenaga kerja ke luar negeri sebagai buruh atau pembantu. Kualitas
pendidikan dinegara Indonesia memang tergolong rendah hal ini disebabkan
tingkat kepedulian yang lemah antara sesama masyarakat Indonesia. Hal ini dapat
dikendalikan oleh penerapan sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Pemerintah berperan
penting dalam hal ini, kondisi bangunan sekolah di beberapa daerah sudah tidak
layak di jadikan gedung sekolah. Daripada memberi tunjangan kepada anggota DPR
lebih baik dana tersebut dipergunakan untuk memperbaikan sekolah-sekolah
beserta fasilitasnya dan membangun jembatan menuju dari lingkungan pemukiman
menuju sekolah yang dibatasi oleh sungai. Selain itu sistem pendidikan di
Indonesia yang menekan siswanya untuk belajar dalam jangka waktu yang sangat
panjang. Hal ini sama sekali tidak efektif bagi siswa karena dalam dunia
pendidikan mereka juga dibebani dengn tugas yang banyak yang belum lagi mereka
dituntut untuk mengikuti berbagai ekstrakulikuler, organisasi dan kegiatan
lainnya. Hal ini membuat sebagian siswa merasa terbebani hingga memutuskan
tidak sekolah dan ada yang merasa stress karena terlalu banyak beban yang
ditimpakan kepadanya. Pemerintahan hanya membuat sistem dan kulikulum namun
mereka tidak merasakan betapa beratnya kebijakan tersebut.
5. Pengelolaan Sumber Daya
Alam yang Buruk
Sampai sekarang kita tidak
bisa mencapai swasembada beras. Padahal Indonesia adalah negara agraris yang
sangat luas. Namun karena kesejahteraan petani tidak pernah diperhatikan,
banyak dari mereka yang menjual lahan pertaniannya dan dialih fungsikan menjadi
perumahan. Kita juga tidak pernah menikmati hasil bumi kita yang melimpah
secara utuh. Justru pihak asing yang mengelola dan mengambil hasil pertambangan
kita, sedangkan kita hanya mendapatkan pemasukan dari pajak dan upah buruh. Hal
ini juga dapat diatas dengan sila kelima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Seharusnya pemerintah membuat suatu program dukungan kepada petani
memberikan segala yang dibutuhkan petani agar menumbuhkan semangat mereka untuk
menanam padi di lahan negara. Hal ini jelas akan membantu perekonomian negara
kita tidak perlu lagi membeli beras dari negara lain. Seharusnya pemerintah
menjaga keutuhan negara termasuk lahan masyarakat agar pengusaha asing tidak
membeli tanah mereka. Apabila mereka menjual tanah, mereka tidak dapat
merasakan kehidupan yang makmur dalam jangka waktu yang lama sedangkan jika
mereka tidak menjual tanah dan memanfaatkan lahannya untuk bertani maka itu
lebih bermanfaat dan akan menjamin kehidupannya lebih lama.
6. Kasus SARA yang
Merajalela
Indonesia adalah negara
yang memiliki suku bangsa dan agama yang beragam. Di sekitar kita mungkin
kehidupan antara umat beragaman sudah rukun. Tetapi di beberapa tempat masih
saja ada kasus yang menyangkut SARA. Seperti meminta seorang pemimpin untuk
turun hanya karena agamanya tidak sama dengan agama mayoritas, perusakan tempat
ibadah, terorisme, pertikaian antar suku, dan saling ejek antar agama di dunia
maya. Jika masalah ini dibiarkan terjadi, maka akan terjadi disintegrasi bangsa
dan sangat berbahaya bagi kedaulatan bangsa. Hal ini dapat dikendalikan dengan
sila ketiga Persatuan Indonesia. Negara ini kaya akan kebudayaan yang berbeda
namun ini kembali pada kita semua tugas kita sebagai sesama bangsa Indonesia
yang memiliki latar belakang dan tujuan yang sama, kita memiliki nasib yang
sama. Sebagai mahasiswa yang memiliki pendidikan tinggi dapat membantu hal ini
dengan kuliah kerja lapangan yang dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kita dapat
menyebarkan nilai-nilai Pancasila, rasa nasionalisme yang tinggi, rasa
persatuan dan kesatuan yang tinggi karena kita memiliki tujuan dan latar
belakang yang sama meskipun kita dibedakan oleh suku, ras dan agama hal itu
tidak dapat memisahkan nasib kita. Hal ini kita sebarkan kepada mereka yang
jauh dari perhatian pemerintahan. Walaupun hal ini memiliki tanggung jawab yang
besar dan resiko yang tinggi. Bisa saja dalam penyebaran kebaikan untuk
memperkuat rasa persatuan, kita harus mempertaruhkan keselamatan dan nyawa
seperti halnya di daerah pulau Papua.
7. Kesenjangan Sosial
Ini sudah biasa terjadi di
negara kita dimana orang kaya akan tetap kaya sampai tujuh turunan, sedangkan
orang miskin tetaplah miskin walau sekeras apapun dia bekerja. Tidak hanya itu
mereka yang kaya tidak merasa puas apalagi bersyukur akan harta yang mereka
miliki. Begitu pula dengan orang-orang yang berada di kalangan bawah merasa
susah menjalankan hidup akhirnya mereka melakukan hal-hal yang seharusnya
mereka tidak lakukan yang mengakibatkan marak kriminalitas di Indonesia. Hal
ini dapat dikendalikan dengan sila kelima yaitu Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Pemerintah sebaiknya mengendalikan hal ini dengan membatasi
kekayaan orang-orang kaya di Indonesia. Mereka yang memiliki uang tidak
terhingga melebihi kebutuhan akan dirinya lebih baik menyumbangkan hartanya
kepada masyarakat. Pengusaha yang kaya di undang dalam suatu perkumpulan untuk
melakukan bantuan kepada rakyat Indonesia. Namun perlu diingat sebagai orang
yang memiliki keungan yang tinggi tidaklah sepatutnya berbangga dan
menyombongkan diri apalagi merendahkan rakyat miskin.
8. Kemacetan
Di beberapa kota besar di
Indonesia, kemacetan sudah menjadi hal yang lumrah. Kemacetan disebabkan oleh
penggunaan kendaraan bermotor yang meningkat dan banyak orang yang lebih
memilih menggunakan kendaraan bermotor ketimbang bersepeda walaupun jarak tempuhnya
cukup dekat. Contohlah Singapura dimana penduduknya setiap hari menggunakan
angkutan umum dan mau berjalan menuju tempat kerjanya. Hal ini dapat
dikendalikan dengan mengamalkan sila kedua Kemanusian yang adil dan beradab.
Andai saja kita memiliki jiwa kepedulian yang tinggi, menahan diri dari
keinginan yang membuat kita bersifat boros, berjiwa mau mengalah, kedisiplinan
yang tinggi serta keinginan untuk sehat yang tinggi maka kemacetan tidak akan
dijumpai dinegara kita. Mereka yang perduli sesama akan menolong siapapun tanpa
pamrih saat berkendara baik itu angkotan umum, maupun pribadi. Sebaiknya
pemerintah menekan angka kemacetan dengan melarang setiap warga negara
Indonesia yang mempunyai mobil lebih dari satu atau sesuai dengan kebutuhan
saja tidak untuk dikoleksi atau tidak memberikan mobil kepada anak yang dibawah
umur untuk pergi kesekolah. Biarkan anak sekolah atau mahasisa pergi ke tempat
pendidikannya menggunakan angkotan umum atau bahkan jika jaraknya tidak terlalu
jauh maka lebih baik jalan kaki atau bersepeda selain menumbuhkan rasa displin
yang tinggi karena harus bangun dan pergi pagi ke sekolah agar tidak terlambat
mereka juga akan merasakan manfaatnya bagi kesehatan.
9. Pengangguran
Angka pengangguran di
Indonesia cukup tinggi. Bahkan orang-orang pengangguran kebanyakan sudah
sarjana. Pengangguran menjadi penyebab utama kemiskinan. Kurangnya lapangan
pekerjaan menjadi salah satu penyebab terjadinya pengangguran. Sebaiknya
penganggur tersebut menjadi pengusaha. Banyak sekali pengusaha sukses yang
awalnya adalah seorang pengangguran. Permasalahan kali ini dapat teratasi
dengan mengamalkan sila keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan
kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Tindakan yang harus
dilakukan oleh pemerintahan yaitu membuka dan menciptakan lapangan kerja bagi
rakyatnya bukan menutup mata pencarian atau bahkan menggantinya dengan tenaga
kerja asing. Pemerintah juga tidak dapat menyalahkan rakyatnya sebab hal ini
merupakan tanggung jawab pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja dengan
cara apapun yang halal misalnya bekerja sama dengan pengusaha asal negeri kita
untuk membuka sebuah perusahaan yang membutuhkan banyak karyawan pribumi.
Contohnya industri rokok meskipun membahayakan kesehatan rakyat Indonesia yang mengonsumsinya
namun industri ini banyak meraup karyawan pribumi. Selain itu tindakan yang
harus dilakukan rakyat sebaiknya tidak bermalas-malasan tetapi terus berusaha
memperoleh rezeki dengan cara yang sebaik-baiknya.
10. Banyak Daerah yang
Kurang Diperhatikan
Banyak sekali terdapat
daerah tertinggal di negara ini terutama di kawasan dekat perbatasan negara dan
bagian timur Indonesia. Pembangunan cenderung berpusat di sekitar pulau Jawa,
Sumatera, dan Bali saja. Mungkin karena hanya daerah tersebut yang paling
potensial. Tetapi sebaiknya pemerintah memperhatikan daerah lain. Siapa tahu
daerah yang kurang diperhatikan tersebut sebenarnya sangat berpotensi bagi
pembangunan negara. Permasalahan terakhir ini cenderung lebih mengarah kepada
sila kelima yakni Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Seharusnya
pemerintah mengambil pelajaran dari setiap kasus daerah yang ingin memisahkan
diri, intropeksi diri tidak hanya dilakukan di kalangan masyarakat namun juga
pemerintah. Tentu saja daerah-daerah yang ingin memisahkan diri memiliki alasan
tersendiri salah satunya ketidakadilan pemerintah dalam memperhatikan daerah
yang menjadi tanggung jawabnya. Pemerintah juga tidak dapat menyalahkan rakyat
dalam kasus ini sebab yang mesti memperhatikan rakyatnya adalah pemimpin rakyat
tersebut bukannya rakyat yang mengemis meminta perhatian dari pemerintah.